Rachmad Resmiyanto
PENTAS LAUTAN JILBAB yang diselenggarakan Jama’ah Shalahuddin sekitar 1986/89 (tolong dikoreksi) telah mengubah peta perempuan di Indonesia. Sosiolog Belanda yang perhatian pada perkembangan Indonesia, Niels Mulder, mengatakan bahwa sejak pentas Lautan Jilbab Jama’ah Shalahuddin dilakukan maka pakaian muslim jilbab telah ikut menjadi budaya masyarakat. Padahal Lautan Jilbab adalah sebuah puisi dadakan yang ditulis Emha Ainun Nadjib ketika harus merespon dan tampil di acara Pentas Seni Ramadhan Di Kampus Jamaah Shalahuddin UGM, Yogya, 1986. Lihat buku Niels Mulder-Ruang Batin Masyarakat Indonesia dan Jabrohim (teman dekat Cak Nun, Dekan FKIP UAD s.d 2008)-Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib.
“Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan. Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan. Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan. Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan. Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan. Jillbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan”.
(Emha Ainun Najib – Lautan Jilbab)
Purwoko (wakil ketua RDK 2003) telah menyelamatkan aset berharga JS terkait dengan rekaman video pentas ini. Rekaman kaset Videonya telah ditransfer ke VCD. Saat ini saya juga memliki salinan digital pentas tersebut. Ada 2 keping CD.
Saya sendiri, jujur masih menyimpan rekaman audio-nya di rumah, karena saat itu, kami (saya, purwoko dan beberapa teman) tatkala bongkar2 arsip JS yang menggunung (yang sempat ingin dibakar beberapa pejabat JS) menemukan itu dan terpikir untuk menyelamatkannya ke kos kami masing2.
Berikut ini saya kutipkan pernyataan2 tentang lautan jilbab:
- Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/e/emha-ainun-nadjib/index.shtml
- Emha bisa mengeksploitasi kepenyairannya untuk menyusun syair religius yang kemudian ditembangkannya dengan iringan musik campuran dari perkakas elektronik dan gamelan. “Kyai Kanjeng”, nama gamelan kelompok ini, diundang ke sana kemari. Bersama Teater Shalahuddin, Emha berhasil pula mementaskan Lautan Jilbab yang memukau puluhan ribu penonton. Emha makin berkibar. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/03/03/0019.html
- Ungkapan lewat simbol perempuan berjilbab dalam Kantata juga milik dekade 1990-an. Dalam konteks awal 1990-an, perempuan berjilbab adalah semacam perlawanan yang jelas sekali terhadap otoritas negara. Pengusiran pelajar berjilbab di sekolah-sekolah merupakan persoalan besar hingga akhir dekade 1980-an, sehingga kemudian jilbab menjadi semacam perlawanan terhadap represi negara lewat rangkaian demonstrasi (bersamaan dengan demonstrasi anti-SDSB) dan kegiatan budaya macam pembacaan puisi ”Lautan Jilbab” di beberapa panggung oleh penyair-kolumnis Emha Ainun Najib. http://www.rumahfilm.org/resensi/resensi_kantata.htm
- Isu jilbab yang digulirkan di awal 90-an menemukan momentum puncaknya di pertengahan 90-an. Tak kurang dari peran besar Cak Nun yang keliling Indonesia mementaskan Lautan Jilbab sebagai motor budaya yang juga didukung demonstrasi ke jalan para jilbaber menjadikan massa mulai melirik jilbab bukan sebagai barang yang menakutkan. http://aghofur.com/reporter-berjilbab-mulai-diterima.html
- Sepulang dari pengembaraannya, kreativitas Emha semakin menyeruak. Tulisannya kian sering muncul di berbagai media massa. Ia juga ikut membidani kelahiran Teater Shalahuddin yang ketika itu kerap manggung di Kampus UGM, Bulaksumur. Lewat teater ini, Emha mementaskan “Lautan Jilbab”. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/02/17/0112.html
- Namun, pada tahun 1988, Emha telah memberi kejutan baru. Bersama teman-teman UGM (Jamaah Shalahuddin) ia mementaskan Lautan Jilbab, di samping Sunan Sableng dan Baginda Faruk. Menurut catatan, pementasan Lautan Jilbab merupakan pementasan yang dari segi penonton terbesar hingga kini. Menurut perhitungan pementasan ini ditonton tidak kurang dari 3000 penonton pada malam pertama dan sekitar 2000 penonton pada malam kedua. Belum ada pementasan teater di Yogya yang ditonton dengan jumlah sebesar itu, kecualiu ketika naskahnya Santri-santri Khidlir dipentaskan di alun-alun Madiun, di mana tak kurang dari 30.000 pentonton menghadirinya.Yakinlah, bukan jumlah penonton yang penting. Lebih dari itu adalah kemampuannya dalam “merumuskan semangat zaman”, kepiawaiannya dalam membaca “tanda-tanda zaman”, karena seperti diketahui pada tahun akhir 1980-an itu masalah jilbab bukan saja masalah masyarakat Indonesia, tetapi telah menjadi masalah masyarakat dunia. Di Perancis dan Inggris, sejumlah siswi dilarang masuh sekolah karena mengenakan jilbab. Di Indonesia terjadi perdebatan yang hangat apakah pelajar Indonesia boleh mengenakan jilbab di sekolah.Bagi Emha pelarangan tersebut aneh dan melanggar hak asasi manusia, oleh karena itu harus dilawan. Lautan Jilbab adalah bentuk perlawanan Emha terhadap berbagai keanehan dan ketidakadilan tersebut. “Pakai jilbab atau tak berjilbab” kata Emha, “adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih. Atau kalau meniru Chairil: bukan jilbab itu benar menusuk kalbu……tapi ketidak-ridhaanmu membiarkan hak manusia untuk memilih”.Yang pasti, pada tahun-tahun itu Lautan Jilbab dipentaskan di beberapa kota di Indonesia. Dalam masa-masa itu pula beberapa naskah drama Emha juga dipentaskan oleh Sanggar Shalahuddin. http://emha2indonesia.multiply.com/journal/item/14/BIOGRAFI_EMHA_AINUN_NADJIB
Kapan sejarah besar Shalahuddin akan ditulis ulang? Bukan untuk sekedar romantisme masa lalu, tapi untuk menyalakan kembali api semangat buat Shalahuddin.
No comments:
Post a Comment