Model Instrumen Pengukuran Kinerja untuk Guru-guru Pascasertifikasi dengan Scientific and Financial Performance Maasure (SFPM)
Rachmad Resmiyanto* , Wahyu Mar’atus Sholihah**, Nuriyati**
*Pusat Studi Pendidikan FKIP Universitas Ahmad Dahlan
**Mahasiswa Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan
disampaikan dalam Simposium nasional penelitian dan inovasi pendidikan tahun 2009 Puslitjaknov Balitbang Depdiknas,
Jakarta 4-6 Agustus 2009
Jakarta 4-6 Agustus 2009
ABSTRAK
Dalam program sertifikasi seorang guru harus memenuhi 10 komponen portofolio untuk dapat lolos sertifikasi. Setelah guru lolos sertifikasi, guru akan mendapat tunjangan profesi. Kinerja guru pascasertifikasi selama ini belum diukur, padahal para guru pascasertifikasi mendapat tunjangan profesi.
Model yang diajukan dalam makalah ini merupakan pengembangan Scientific and Financial Performance Measure (SFPM). Model instrumen ini berusaha untuk mengukur kinerja guru pascasertifikasi dengan tetap berpedoman pada komponen portofolio. Untuk melenyapkan unsur subjektivitas selama pengukuran maka model berbasis pada capaian luaran ilmiah guru. Kinerja guru akan dinilai menjadi kinerja ilmiah dan kinerja finansial. Kinerja finansial merupakan konversi ekonomi dari kinerja ilmiah sehingga tunjangan profesi dapat dilihat tingkat manfaatnya dalam peningkatan kinerja guru pascasertifikasi. Dari simulasi model yang dilakukan menunjukkan bahwa guru-guru yang aktif menghasilkan luaran ilmiah akan memiliki angka/indeks kinerja yang baik. Model juga dapat mengakomodasi penggunaan tunjangan profesi untuk kinerja ilmiah. Dalam menghasilkan luaran ilmiah, seorang guru mungkin membutuhkan sejumlah uang atau bahkan tidak sama sekali. Pengukuran yang dilakukan dengan model ini menunjukkan bahwa kinerja ilmiah yang dilakukan oleh guru benar-benar dapat dikonversi nominal uangnya dalam persentase. Oleh karena itu, model ini dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengukur kinerja guru pascasertfikasi.
Kata kunci: kinerja guru, SFPM, luaran ilmiah
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah melalui program sertifikasi guru. Dalam program ini, seorang guru dapat mencapai derajat profesional ketika ia dinyatakan lulus sertifikasi. Sampai saat ini, instrumen yang digunakan untuk penilaian dalam sertifikasi guru adalah 10 komponen portofolio.
Sebagai kompensasi atas derajat profesional guru, maka kemudian guru-guru yang telah lolos sertifikasi berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi pendidik (TPP) sebanyak satu kali gaji pokok setiap bulan. Diharapkan dengan diberikannya tunjangan profesi ini maka kinerja guru akan meningkat sehingga secara tidak langsung mutu pendidikan juga akan meningkat.
Sejauh ini pemerintah sedang menyusun kriteria kinerja guru pascasertifikasi, sehingga pemerintah bisa dikatakan belum melakukan evaluasi kinerja setelah guru-guru lolos sertifikasi (Pers Depdiknas, 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan kajian kinerja guru yang telah mendapat sertifikat profesi dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kinerja guru sehingga peningkatan mutu pendidikan dapat dipantau secara massif.
Untuk mengukur kinerja guru yang telah lolos sertifikasi maka diperlukan sebuah perangkat/instrumen pengukuran kinerja. Selama ini yang terjadi adalah guru akan mendapat sertifikat profesi sejauh guru tersebut dapat menunjukkan 10 komponen portofolio. Bagi pihak guru, untuk mengumpulkan 10 komponen portofolio tersebut jelas diperlukan peningkatan kinerja dibanding biasanya. Dengan demikian, dalam sertifikasi guru 10 komponen portoflio digunakan sebagai instrumen penilaian kelayakan seorang guru untuk mendapat sertifikat profesi. Namun, setelah para guru mendapat sertifkat profesi, pemerintah belum melakukan pengukuran kinerja guru-guru yang telah lolos sertifikasi tersebut. Padahal, negara memberikan kompensasi bagi guru-guru pascasertfikasi untuk mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 kali gaji pokok. Tunjangan ini akan sia-sia jika ternyata para guru memacu kinerjnya hanya demi mengejar lolos sertifikasi, dan setelah mendapat tunjangan profesi kinerjanya kembali biasa dan tidak ada peningkatan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diurai di muka, maka masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah model instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja guru pascasertifikasi sebagai perangkat untuk mengetahui seberapa besar kinerja guru setelah mendapat tunjangan profesi.
Kinerja guru dapat dilihat dari sisi ilmiah dan keuangan/finansial. Kinerja ilmiah merupakan ukuran kinerja dari sisi keilmuan. Sedangkan kinerja finansial merpakan ukuran kinerja yang beusaha untuk menominalkan kinerja ilmiah guru. Ini penting sebab guru mendapat tunjangan profesi pendidik sehingga perlu juga dilihat aspek finansial dari kinerja guru.
Oleh karena itu, rumusan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah bagaimanakah model instrumen pengukuran kinerja guru-guru pascasertifikasi.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah mencari model pengukuran kinerja guru yang tepat untuk guru pascasertifikasi sehingga dapat diketahui kinerja guru pascasertifikasi.
Manfaat penulisan karya tulis ini adalah dapat mengukur tingkat kinerja guru pascasertifikasi berdasarkan luaran ilmiah sesuai dengan komponen-komponen dalam portofolio.
Uraian Gagasan Inovatif
Gagasan model pengukuran kinerja guru untuk guru-guru yang lolos sertifikasi ini merupakan pengembangan dari (Scientific and Financial Performance Measure (SFPM) (Handoko, 2005a,b,c). Model ini diajukan sebagai model pengukuran kinerja guru pascasertifikasi dengan tetap berpedoman pada komponen-komponen portofolio dalam sertifikasi guru.
Makalah ini juga dilengkapi dengan simulasi pengukuran kinerja ilmiah guru pascasertifikasi sehingga dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang jelas dari kegunaan model instrumen ini.
BAB II KAJIAN TEORI
Dalam proses sertifikasi, guru wajib menyerahkan dokumen fisik yang berupa portofolio sebagai bukti kinerja yang menggambarkan capaian pengalaman berkarya selama menjalankan tugas profesi guru. Portofolio merupakan bukti pengalaman, karya dan prestasi guru yang meliputi 4 kompetensi, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Empat macam kompetensi ini terkandung dalam 3 unsur dan 10 komponen portofolio.
Tiga unsur yang dimaksud adalah unsur kualifikasi dan tugas pokok, unsur pengembangan profesi dan unsur pendukung profesi. Tiga unsur ini kemudian dijabarkan dalam 10 komponen portofolio yaitu kualifikasi akademik, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, pendidikan dan pelatihan, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi dalam bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan.
Setelah guru lolos sertifikasi, maka guru berhak mendapat tunjangan profesi pendidik (TPP) sebesar satu kali gaji pokok. Tunjangan ini diberikan setiap bulan, sehingga guru-guru yang telah lolos sertifikasi akan menerima 2 kali gaji pokok tiap bulannya. Diharapkan dengan adanya tunjangan profesi pendidik ini kinerja guru kian meningkat sehingga diharapkan akan terjadi efek tetesan air (multiplier effect) yang pada akhirnya akan berpengaruh juga terhadap mutu pendidikan.
Namun demikian, sampai saat ini Depdiknas belum memiliki instrumen kebijakan yang akan memantau kinerja guru pascasertifikasi. Instrumen ini sangat penting sebab jika tunjangan profesi pendidik tidak diimbangi dengan peningkatan kinerja guru, maka sertifikasi guru hanya akan menjadi ladang penghambur-hamburan uang negara. Sejauh ini, Depdiknas baru menyusun kriteria kinerja guru untuk guru-guru yang telah lolos sertifikasi (Dirjen Dikti, 2008).
Setiawan (2008) mencoba mengajukan model audit kinerja guru dengan mendeskripsikan secara mendalam atas karakteristik statik/dinamik yang berkaitan dengan program sertifikasi guru yang berdampak pada pembayaran tunjangan fungsional.
Metode pelaksanaan audit kinerja guru yang diterapkan Setiawan (2008) adalah sebagai berikut: (a) metode pengujian kepatuhan (kepatuhan peraturan, kesesuaian profesi, praktik yang sehat); (b) metode pengujian substantive (pengujian analitis, pengujian detail atas pernyataan kompetensi pendidik, prosedur audit); (c) metode sampling pengujian; dan (d) metode pembuatan pernyataan pendapat audit kinerja guru.
Untuk melakukan audit kinerja guru pascasertifikasi diperlukan adanya penilaian kinerja guru tersebut yang berdasarkan kriteria kinerja tertentu. Sejauh ini, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) sudah berencana menyusun kriteria kinerja guru. Kriteria kinerja guru ini akan dijadikan indikator untuk melakukan pembayaran tunjangan profesi guru serta untuk mengevaluasi kemampuan profesional guru bagi yang telah mendapatkan sertifikat profesi (Pers Depdiknas, 2009).
Nulhakim (2007) memaparkan bahwa kinerja guru merupakan kegiatan-kegiatan dalam proses belajar yang dilaksanakan secara profesional. Untuk mengetahui tingkat kinerja guru diperlukan sebuah instrumen pengukuran yang sahih (valid) dan handal (reliable) sehingga dapat dijadikan bahan penetapan penilaian kinerja standar yang kemudian dikompensasikan pada tunjangan profesi guru.
Yusrizal (2008) telah mengusulkan untuk merancang form alternatif penilaian kinerja guru yang disebut Daftar Penilaian Kinerja Guru (DPKG). DPKG berisi penilaian indikator ketercapaian dari masing-masing aspek yang sudah terlaksana/dikerjakan para guru. Indikator itu dalam bentuk operasional agar memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Setiap indikator ditetapkan memiliki rentang nilai tertentu sehingga nilai akhir dapat menunjukkan pada tingkat mana kinerja seorang guru berada, misalnya berkinerja tinggi, sedang atau rendah. Namun Yusrizal (2008) mengakui bahwa untuk merancang dan mengembangkan format alternatif penilaian kinerja guru tersebut masih diperlukan diskusi khusus.
Dalam 10 komponen portofolio progam sertifikasi guru, beberapa komponen merupakan komponen yang berbasis luaran ilmiah. Namun, aspek luaran ilmiah ini belum mendapatkan perhatian yang lebih jika melihat usulan-usulan dari Setiawan (2008), Yusrizal (2008), dan Nulhakim (2007).
Terkait dengan luaran ilmiah sebagai bukti hasil kinerja, L.T. Handoko (2005a, 2005b, 2005c) mengajukan usulan model SFPM (Scientific and Financial Performance Measure) untuk mengevaluasi kinerja suatu lembaga yang berbasis luaran ilmiah. Model SFPM ini berlaku umum untuk kinerja lembaga-lembaga yang biasanya dilihat dari luaran ilmiah yang dihasilkan. Model SFPM dapat menghitung kinerja ilmiah dan kinerja finansial untuk lembaga-lembaga yang menhasilkan luaran ilmiah di bidang ilmu sains dan teknik, sosial dan humaniora, dan seni.. Ini sangat menguntungkan sebab selama ini luaran ilmiah sulit untuk dikuantisasikan baik secara kinerja ilmiah maupun kinerja finansialnya. Secara sederhana model SFPM dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:
SP : kinerja ilmiah
no : jumlah luaran ilmiah yang didefinisikan untuk suatu bidang
SP : poin ilmiah untuk suatu luaran ilmiah
np : jumlah peneliti pelaksana
PT : batas poin ilmiah total untuk satu peneliti
Qo : jumlah suatu luaran ilmiah
FP : kinerja finansial
BT : total anggaran pada satu tahun anggaran
CE : koefisien ekonomi (finansial)
No : No urut suatu luaran ilmiah
Model ini menggunakan 3 (tiga) asumsi yang bertujuan untuk meminimkan unsur subjektivitas dalam penilaian kinerja lembaga-lembaga yang berbasis luaran ilmiah. Tiga asumsi tersebut adalah (1) pengukuran hanya berbasis luaran ilmiah tanpa melihat proses di dalamnya, (2) berbasis evaluasi tahunan per tahun anggaran, dan (3) setiap luaran ilmiah diurutkan berdasarkan tingkat kesulitan pencapaian serta diberi poin (skor) berdasar muatan ilmiah. Nomor urut (NO) seluruh luaran ilmiah yang relevan harus berurutan, tidak boleh melompat dan ganda. Sebaliknya poin ilmiah (SP) bisa sama dengan satu atau lebih luaran ilmiah lain yang berurutan, namun harus lebih kecil (besar) dibandingkan dengan luaran ilmiah dengan poin ilmiah yang berbeda diatas (dibawah)nya. Penentuan urutan dan poin luaran ilmiah bisa berbeda antara bidang yang satu dengan yang lain. Asumsi selanjutnya adalah adanya parameter poin ilmiah maksimal (PM), tingkat penurunan poin ilmiah (PD, dalam persen) dan batas poin ilmiah total perpeneliti (PT). Ketiga parameter ini dapat dibuat sama untuk semua bidang ilmu.
Model
Untuk membangun model instrumen penilaian kinerja guru-guru pascasertfiikasi maka diperlukan beberapa asumsi yang kemudian akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan model ini. Sepuluh (10) komponen portofolio yang digunakan sebagai syarat kelulusan guru dalam program sertifikasi tetap digunakan dalam model ini. Bahkan, model ini hanya berpijak pada 10 komponen tersebut. Hanya saja, tidak semua komponen yang ada dalam portofolio kemudian diakomodasi dalam model.
Secara umum model ini menggunakan 3 (tiga) asumsi yang bertujuan untuk sedapat mungkin menghilangkan unsur subjektivitas dalam penilaian kinerja guru pascasertifikasi. Tiga asumsi tersebut adalah:
- pengukuran hanya berbasis luaran ilmiah yang dihasilkan guru tanpa melihat proses di dalamnya,
- berbasis evaluasi tahunan per tahun anggaran dengan melihat seluruh luaran ilmiah pada tahun anggaran terakhir, dan
- setiap luaran ilmiah diurutkan berdasarkan tingkat kesulitan pencapaiannya serta diberi poin (skor) berdasar muatan ilmiahnya.
Asumsi 1: pengukuran hanya berbasis luaran ilmiah yang dihasilkan guru tanpa melihat proses di dalamnya
Komponen-komponen portofolio yang akan digunakan dalam model ini hanyalah komponen-komponen yang menunjukkan luaran ilmiah. Pilihan ini berdasarkan kenyataan bahwa tunjangan profesi pendidik (TPP) merupakan bentuk tunjangan yang diberikan kepada guru supaya dapat meningkatkan kinerja profesinya. Kinerja guru benar-benar akan terasa hasilnya jika guru dapat menghasilkan produk yaitu suatu luaran ilmiah. Selama guru tidak bisa menghasilkan suatu luaran ilmiah, maka guru tersebut belum dapat dikatakan telah meningkat kinerjanya.
Dalam model ini, luaran ilmiah sendiri didefinisikan sebagai luaran suatu kegiatan ilmiah yang sudah diakui oleh pihak ketiga independen dalam bentuk dokumen ilmiah maupun keguatan riil lainnya.
Unsur A, yaitu unsur kualifikasi dan tugas pokok, sebenarnya bukan merupakan unsur yang kelak ditunjang dengan TPP, tetapi sudah diberikan “kompensasi” dalam bentuk gaji pokok guru. Dengan demikian hanya unsur B dan unsur C (unsur pengembangan profesi dan unsur pendukung profesi) yang akan dimasukkan dalam model.
Unsur B (pengembangan profesi) memiliki 4 komponen yaitu pendidikan dan pelatihan, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik dan karya pengembangan profesi. Dari 4 komponen tersebut 2 komponen pertama yaitu komponen pendidikan dan pelatihan dan unsur penilaian dari atasan dan pengawas dengan sendirinya gugur dalam model. Dua komponen ini bukan merupakan komponen yang menunjukkan suatu luaran ilmiah sebagai produk kinerja guru.
Komponen pendidikan dan pelatihan merupakan pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan/atau peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Pendidikan dan pelatihan memang akan meningkatkan kinerja guru, tetapi komponen ini baru sebatas “tenaga pemicu” saja. Selama guru tidak menggunakan apa yang sudah didapat dari pendidikan dan pelatihan untuk unjuk kinerja, maka pendidikan dan pelatihan yang pernah dilakukannya akan sia-sia saja, sebab hanya berhenti dalam dirinya. Pendidikan dan pelatihan yang diikuti guru baru bermakna jika guru melakukan sesuatu yang nyata sehingga lingkungan sekolah dan lingkungan pendidikan merasakan hasilnya, yaitu dalam bentuk luaran ilmiah.
Komponen penilaian dari atasan dan pengawas merupakan penilaian atasan terhadap kompetensi kepribadian dan sosial, yang meliputi aspek-aspek: ketaatan menjalankan ajaran agama, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, keteladanan, etos kerja, inovasi dan kreativitas, kemamampuan menerima kritik dan saran, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan bekerjasama. Komponen ini merupakan komponen yang sedikit banyak bernilai subjektif dan sangat tergantung pada pribadi atasan dan pengawas, atau hubungan guru-atasan/guru-pengawas. Dengan demikian, komponen ini tidak bisa diakomodasi dalam model.
Komponen prestasi akademik dan komponen karya pengembangan profesi jelas merupakan komponen yang menunjukkan luaran ilmiah yang dihasilkan oleh guru.
Komponen prestasi akademik merupakan prestasi yang dicapai guru, utamanya yang terkait dengan bidang keahliannya yang mendapat pengakuan dari lembaga/panitia penyelenggara, baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Komponen ini meliputi lomba dan karya akademik (juara lomba atau penemuan karya monumental di bidang pendidikan atau nonkependidikan), pembimbingan teman sejawat (instruktur, guru inti, tutor), dan pembimbingan siswa kegiatan ekstra kurikuler (pramuka, drumband, mading, karya ilmiah remaja-KIR, dan lain-lain). Namun demikian, tidak semua yang tercakup dalam prestasi akademik merupakan luaran ilmiah, hanya lomba dan karya akademik saja yang merupakan bentuk luaran ilmiah. Dalam lomba dan karya akademik tercakup juara lomba akademik tingkat kecamatan-internasional, sertifikat keahlian/keterampilan tingkat regional-internasional dan karya monumental bidang pendidikan dan nonpendidikan. Pembimbingan teman sejawat dan pembimbingan siswa, meskipun penting, tidak dimasukkan dalam model sebab bukan merupakan suatu luaran ilmiah.
Komponen karya pengembangan profesi merupakan suatu karya yang menunjukkan adanya upaya dan hasil pengembangan profesi yang dilakukan oleh guru. Komponen ini meliputi buku yang dipublikasikan pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional; artikel yang dimuat dalam media jurnal/majalah/buletin yang tidak terakreditasi, terakreditasi, dan internasional; menjadi reviewer buku, penulis soal EBTANAS/UN; modul/buku cetak lokal (kabupaten/kota) yang minimal mencakup materi pembelajaran selama 1 (satu) semester; media/alat pembelajaran dalam bidangnya; laporan penelitian tindakan kelas (individu/kelompok); dan karya seni (patung, rupa, tari, lukis, sastra, dan lain-lain). Dalam komponen ini yang tidak dapat diakomodasi dalam model adalah menjadi reviewer buku, penulis soal UN dan karya media/alat pembelajaran.
Unsur C (pendukung profesi) memiliki 3 komponen yaitu keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi dalam bidang kependidikan dan sosial serta penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan.
Komponen keikutsertaan dalam forum ilmiah yaitu partisipasi dalam kegiatan ilmiah yang relevan dengan bidang tugasnya pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, atau internasional, baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta. Dalam komponen ini, keikutsertaan terbagi menjadi 2 yaitu sebagai pemakalah dan peserta. Karena model berasumsi bahwa hanya luaran ilmiah yang akan digunakan maka hanya keikutsertaan sebagai pemakalah saja yang bisa diakomodasi model.
Komponen pengalaman organisasi jelas merupakan komponen yang tidak menunjukkan adanya suatu luaran ilmiah sehingga tidak dapat diakomodasi dalam model.
Komponen penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan merupakan penghargaan yang diperoleh karena guru menunjukkan dedikasi yang baik dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kriteria kuantitatif (lama waktu, hasil, lokasi/geografis), kualitatif (komitmen, etos kerja), dan relevansi (dalam bidang/rumpun bidang), baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Komponen ini dapat diakomodasi dalam model sebab menunjukkan kinerja guru yang sudah diakui oleh pihak luar.
Berdasarkan uraian di atas, komponen-komponen yang dapat diakomodasi dalam model instrumen penilaian kinerja guru dapat diringkas dalam bentuk tabel 3.2. Komponen-komponen tersebut sudah memiliki skor/poin maksimum sesuai dengan naskah panduan Penyusunan Perangkat Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Dirjen Dikti, 2007).
Asumsi 2: berbasis evaluasi tahunan per tahun anggaran dengan melihat seluruh luaran ilmiah pada tahun anggaran terakhir
Dalam menghasilkan suatu luaran ilmiah, seorang guru acapkali memerlukan waktu lebih dari 1 bulan kinerja. Misalkan untuk menghasilkan sebuah makalah yang dipresentasikan dalam forum ilmiah, seorang guru memerlukan waktu untuk pengambilan data di lapangan, penelusuran pustaka, analisis data dan kemudian memberikan kajian pembahasan atas analisis data yang sudah dilakukan. Kegiatan-kegiatan semacam ini jelas memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Selain itu, evaluasi per tahun anggaran merupakan sistem evaluasi yang sudah lazim digunakan dalam banyak kepentingan lembaga-lembaga. Dengan dilakukannya evaluasi per tahun anggaran maka penilaian kinerja juga akan lebih mudah dan lebih sederhana.
Jumlah anggaran yang digunakan dalam perhitungan model ini bergantung pada jumlah tunjangan profesi pendidik (TPP) yang diterima masing-masing guru. Oleh karena itu, jumlah anggaran per tahun yang dimaksud model ini untuk setiap guru tidak akan sama. Misalnya, seorang guru dengan golongan IIIa MKG 10, menurut PP No 8 Tahun 2009, gaji pokok yang akan diterima tiap bulan adalah sebesar Rp 1.869.300. Dengan demikian, selama 1 tahun, guru tersebut akan menerima tunjangan profesi sebesar 12 x Rp 1.869.300 = Rp 22.431.600. Jumlah 22.431.600 rupiah inilah yang akan digunakan dalam model sebagai jumlah total anggaran untuk guru tersebut. Ini mengandung arti bahwa negara telah memberikan anggaran kepada guru tersebut untuk meningkatkan kinerjanya dalam tahun itu dengan mengucurkan dana sebesar Rp 22.431.600.
Asumsi 3: setiap luaran ilmiah diurutkan berdasarkan tingkat kesulitan pencapaiannya serta diberi poin (skor) berdasar muatan ilmiahnya
Nomor urut (selanjutnya akan disimbolkan ) seluruh luaran ilmiah yang relevan harus berurutan, tidak boleh melompat dan ganda. Hal ini berbeda dengan poin/skor ilmiah (selanjutnya akan disimbolkan ). Skor ilmiah yang dimiliki oleh masing-masing luaran ilmiah dapat memiliki nilai yang sama. Daftar luaran ilmiah yang ada kemudian diurutkan berdasarkan peringkat skor ilmiahnya. Luaran ilmiah yang memiliki skor ilmiah paling tinggi diberi nomor urut ( ) sama dengan 1, kemudian diikuti oleh luaran-luaran ilmiah yang skornya dibawahnya. Apabila ada luaran ilmiah yang memiliki skor ilmiah yang sama, maka luaran ilmiah yang tingkat pencapaiannya lebih sulit ditempatkan pada nomor urut ( ) yang lebih kecil. Skor ilmiah dari luaran ilmiah komponen portofolio menggunakan skor yang ditetapkan oleh Dirjen Dikti dalam Naskah Panduan Penyusunan Perangkat Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Daftar urutan luaran ilmiah berdasarkan skor dan nomor urutnya dapat dilihat dalam tabel 3.1 di muka.
Tiga asumsi ini merupakan asumsi-asumsi yang utama dalam penyusunan model. Selain itu, masih diperlukan asumsi tambahan agar model dapat berjalan dengan sempurna.
Asumsi 4: batas skor ilmiah total yng dapat dicapai oleh setiap guru ( ) dapat ditetapkan dengan melihat realita yang ada di lapangan
Dalam satu tahun anggaran, seorang guru tidak mungkin dapat mencapai hampir semua luaran ilmiah yang ada. Wajarnya, seorang guru hanya mungkin menghasilkan beberapa luaran ilmiah saja selama rentang waktu satu tahun anggaran. Di sini, perlu disusun asumsi berapa nilai skor ilmiah maksimum yang mungkin dicapai oleh seorang guru dalam satu tahun. Dengan melihat kenyataan di lapangan, pihak pemangku kebijakan dapat menetapkan asumsi ini, misalnya adalah = 40. Skor ini dapat terdiri atas 1 makalah relevan tingkat yang dipresentasikan di forum nasional (nomor urut 6) atau makalah relevan yang dipresentasikan di forum ilmiah kabupaten (nomor urut 20) dan modul yang relevan (nomor urut 23).
Skor PT dapat dimaknai sebagai skor ilmiah total yang mungkin dicapai oleh guru atau skor ilmiah total yang diidealkan untuk dicapai oleh guru.
Asumsi 5: untuk mengkonversi luaran ilmiah yang dihasilkan guru sehingga menjadi kinerja finansial maka perlu ditetapkan parameter koefisien ekonomi ( )
Parameter koefisien ekonomi ini ( ) cukup ditentukan di awal dan bisa dibuat berubah mengikuti dengan keadaan makro ekonomi misalnya inflasi, pertumbuhan ekonomi atau nilai tukar rupiah. Untuk memudahkan hubungan yang tersembunyi antara tunjangan profesi yang diberikan dengan luaran ilmiah yang dihasilkan guru, maka sebaiknya parameter koefsien ekonomi ( ) ditetapkan menurut tunjangan profesi yang diterima guru setiap bulannya. Misalnya untuk guru golongan IIIa MKG 10, menurut PP No 8 Tahun 2009 akan menerima tunjangan profesi sebesar Rp 1.869.300 maka koefisien ekonomi ( ) adalah sebesar 1.869.300.
Dengan demikian berdasarkan 3 asumsi utama dan 2 asumsi tambahan di muka, maka rasio dari Kinerja Ilmiah dan Kinerja Finansial untuk guru-guru pascasertifikasi dengan menggunakan model SFPM sebagaimana dinyatakan dalam persamaan (2.1) dan (2.2) dapat dirumuskan menjadi
Keterangan:
: kinerja ilmiah guru
: jumlah luaran ilmiah yang dihasilkan untuk suatu komponen
: skor ilmiah untuk suatu luaran ilmiah
: jumlah guru pelaksana yang terlibat(untuk menghasilkan satu luaran ilmiah)
: batas poin ilmiah total untuk satu guru
: jumlah luaran ilmiah yang dihasilkan guru
: kinerja finansial guru
: total tunjangan profesi pada satu tahun anggaran
: koefisien ekonomi (finansial), tunjangan profesi per bulan
: nomor urut suatu luaran ilmiah
Kinerja Finansial ( ) merupakan konversi kinerja ilmiah yang dilakukan guru ke dalam aspek ekonomi. merupakan ukuran kinerja finansial secara tak langsung. Kinerja finansial secara langsung dapat dihitung berdasarkan rasio jumlah pengeluaran guru untuk menghasilkan sejumlah luaran ilmiah selama satu tahun anggaran terhadap jumlah tunjangan profesi selama setahun.
Dengan demikian, total kinerja finansial merupakan jumlahan dari kinerja finansial langsung dan kinerja finansial tak langsung ( ).
Instrumen Penilaian Guru Pascasertifikasi
Berdasarkan model yang telah disusun dimuka, untuk memudahkan teknis pelaksanaan penilaian kinerja guru-guru pascasertifikasi, maka perlu disusun sebuah instrumen sederhana yang dapat menunjukkan kinerja seorang guru dilihat dari luaran ilmiah yang dihasilkannya setelah guru tersebut menerima tunjangan profesi pendidik.
Instrumen ini memuat komponen-komponen portofolio yang berbasis capaian luaran ilmiah, skor maksimum untuk masing-masing luaran ilmiah, jumlah guru yang terlibat, skor penilaian masing-masing luaran ilmiah yang dilakukan oleh pihak penilai. Secara utuh, instrumen yang telah disusun disajikan dalam tabel 3.3.
Instrumen ini mudah sekali pengoperasionalnnya. Dengan membuat instrumen ini di lembar kerja seperti Microsoft Excel, maka proses penghitungannya menjadi sangat mudah dan cepat.
Simulasi Penilaian
Untuk mengetahui bagaimana bekerjanya model tersebut maka perlu dilakukan simulasi. Dengan simulasi maka variabel-variabel yang terlibat dalam model akan dapat diketahui pengaruhnya.
Dalam simulasi ini, akan dilakukan penilaian terhadap 6 orang guru yang telah lolos sertifikasi dan memiliki golongan sama yaitu IIIa MKG 10. Keenam guru ini, yaitu guru A, guru B, guru C, guru D, guru E dan guru F memiliki hasil luaran ilmiah yang tidak sama selama setahun penilaian. Di sini diandaikan bahwa luaran-luaran ilmiah yang dihasilkan guru semuanya mendapatkan skor maksimum setelah dinilai oleh tim penilai. Secara lebih lengkap, informasi tentang keenam guru yang akan disimulasikan ini ditampilkan dalam tabel 3.4.
Berdasarkan penilaian kinerja keenam guru tersebut dengan menggunakan instrumen seperti dalam tabel 3.3 maka hasil penilaian kinerja ilmiah dan finansial untuk masing-masing guru ditampilkan dalam tabel
Dengan membaca tabel 3.4 dan tabel 3.5 dapat diketahui adanya perbedaan kinerja yang ditunjukkan oleh guru-guru tersebut. Guru yang tidak menghasilkan satupun luaran ilmiah akan memiliki indeks kinerja nol. Ini menunjukkan bahwa anggaran negara yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja guru tersebut sama sekali tidak bermanfaat bagi peningkatan kinerjanya.
Bagi guru-guru yang menghasilkan luaran ilmiah yang sama tetapi berbeda dalam jumlah pengeluaran uang untuk menghasilkan luaran ilmiah tersebut akan memiliki indeks kinerja ilmiah yang sama tetapi indeks kinerja finansialnya berbeda. Ini nampak dalam kinerja ilmiah guru B dan D yang memiliki nilai sama, tetapi kinerja finansial keduanya berbeda.
Bagi guru-guru yang telah mengeluarkan sejumlah uang dengan nominal sama tetapi menghasilkan luaran ilmiah yang berbeda keduanya akan memiliki indeks kinerja ilmiah yang berbeda, bergantung pada luaran ilmiah yang dihasilkan. Indeks kinerja finansialnya juga berbeda dan berbanding lurus dengan jenis luaran ilmiah yang dihasilkan. Kasus ini bisa dilihat dari guru C dan D. Keduanya memiliki nilai kinerja finansial langsung yang sama, tetapi karena kinerja ilmiahnya berbeda maka kinerja finansial total akhirnya juga berbeda.
Bagi guru yang bisa menghasilkan luaran ilmiah dengan jumlah skornya melebihi parameter maka kinerja ilmiahnya akan mencapai nilai di atas 100%. Ini dengan syarat bahwa luaran ilmiah tersebut dikerjakan sendiri dan tidak bermitra dengan guru lain. Nilai kinerja ilmiah yang tingi akan menyebabkan total kinerja fnansial juga kian tinggi.
Bagi guru yang menghasilkan luaran ilmiah tanpa mengeluarkan uang satu rupiah pun, guru seperti ini tetap memiliki total kinerja finansial yang tinggi, sebanding dengan kinerja ilmiah yang dicapainya. Ini terlihat dari kinerja guru F. Ini menunjukkan bahwa kinerja ilmiah yang dilakukan oleh guru akan sangat menentukan total kinerja finansialnya. Ini juga menunjukan bahwa besarnya nominal uang yang digunakan untuk menghasilkan luaran ilmiah tidak terlalu besar pengaruhnya. Artinya, untuk meningkatkan kinerja pascasertifikasi, guru tidak harus menghabiskan tunjangan profesinya demi peningkatan kinerja. Yang paling penting bagi guru adalah dapat menghasilkan luaran ilmiah secara produktif. Semakin tinggi nilai skor ilmiah luaran ilmiah tersebut, maka indeks kinerja (baik ilmiah maupun finansial) guru juga akan semakin tinggi.
Dengan simulasi-simulasi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa model ini dapat bekerja untuk melihat unjuk kinerja guru-guru pascasertifikasi.Unjuk kinerja guru yang ditampilkan dalam model ini adalah kinerja ilmiah dan kinerja finansial berdasarkan capaian luaran ilmiah. Kinerja finansial dapat juga dipandang sebagai konversi ekonomi dari kinerja ilmiah. Dengan demikian, tunjangan profesi yang diberikan kepada guru-guru yang telah lolos sertifikasi dapat benar-benar dikawal, apakah guru-guru pascasertifikasi akan tetap menunjukan kinerja yang baik atu tidak.
Penentuan Ambang Kinerja
Untuk dapat menyatakan seorang guru apakah memiliki kinerja yang baik atau tidak, diperlukan sebuah batas atau ambang kinerja dalam penilaian. Penentuan ambang kinerja dalam model ini bergantung pada penetapan beberapa parameter yaitu parameter dan . Parameter merupakan batas skor ilmiah yang diidealkan untuk dicapai oleh seorang guru. Parameter ini memiliki pengaruh dalam penghitungan kinerja ilmiah guru. Misalnya, jka parameter ditetapkan 60, maka seorang guru baru akan mencapai kinerja ilmiah 100% ketika guru tersebut menghasilkan satu atau beberapa luaran ilmiah yang skor ilmiahnya mencapai kumulatif 60.
Para pemangku kebijakan perlu menetapkan pada angka berapa kinerja ilmiah seorang guru sudah dianggap baik.
Parameter terkait dengan kinerja finansial. Karena model ini digunakan untuk penilaian kinerja guru pascasertifikasi, maka parameter dapat dipilih dari tunjangan profesi per bulan atau dapat jga dengan menetapkan suatu angka tertentu setelah memperhatian keadaan ekonomi kawasan.
Pilihan dan pada nilai berapapun tidak terlalu nampak perbedaannya sebab hasil penilaian kinerja ilmiah dan finansial selalu akan proporsional asalkan tetapan itu digunakan bersama-sama untuk penilaian kinerja semua guru.
Simpulan
Model SFPM (Scientific and Financial Performance Measure) yang berbasis capaian luaran ilmiah dapat digunakan untuk mendukung program sertifikasi guru. Karena untuk dapat lolos sertifikasi seorang guru harus memenuhi 10 komponen portofolio maka pascasertifikasi komponen-komponen tersebut dapat digunakan kembali untuk melihat kinerja guru. Dari 10 komponen portofolio, tidak semua komponen digunakan untuk menilai kinerja guru pascasertifikasi. Hanya komponen-komponen yang berupa luaran ilmiah saja yang digunakan dalam model penilaian kinerja guru ini. Karena hanya berbasis laran ilmiah saja, maka objektivitas dan transparansi pengukuran bisa dijamin.
Penilain kinerja yang dilakukan per tahun anggaran mempermudah proses evaluasi kinerja guru dan manajemen pengambilan keputusan untuk tahun anggaran ke depan sebab hasil penilaian kinerja mencerminkan kondisi riil saat ini. Hasil penilaian kinerja ini dapat dijadikan pedoman kebijakan apakah tunjangan profesi bagi guru yang bersangkutan masih layak untuk diteruskan atau tidak
Hasil pengukuran kinerja finansial yang merupakan konversi kinerja ilmiah dapat digunakan sebagai ukuran keuntungan pemerintah yang telah menginvestasikan dana dalam bentuk tunjangan profesi bagi guru.
Penerapan model ini secara berkelanjutan dalam program sertifikasi guru dapat menunjukkan indikator kinerja para guru pascasertifikasi. Apabila tunjangan profesi guru dianggap sebagai kompensasi kinerja, maka model ini dapat mendorong peningkatan kinerja para guru pascasertifikasi.
Parameter dan yang digunakan dalam model bukan merupakan parameter-parameter yang bersifat mutlak. Parameter tersebut hanya sekedar menunjukkan skala.
Saran
Pemangku kebijakan sebaiknya menentukan nilai parameter dan sehingga bisa dipergunakan secara luas - diperlukan suatu nilai kinerja minimum yang harus dipenuhi oleh guru-guru pascasertifikasi. Ini penting agar memacu para guru untuk terus berkarya dan berprestasi
- dengan ditetapkannya nilai kinerja minimum maka pemerintah dapat melakukan tindakan tegas dan bijak terhadap guru-guru yang tidak bisa memenuhi batas kinerja tersebut.
- Model ini dapat digunakan bersamaan dengan model pengukuran lainnya. Penggunaan model ini secara konsisten dapat digunakan untuk melakukan pemetaaan kinerja guru sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan-kebijakan berdasar temuan hasil kinerja guru.
Dirjen Dikti, 2007, Naskah Panduan Penyusunan Perangkat Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, http://sertifikasiguru.org [Januari 2009] - Dirjen Dikti, 2008. Panduan Penyusunan Portofolio, dapat diunduh di http://sertifikasiguru.org/uploads/File/sertif08/buku3a.pdf [Januari 2009]
- Dirjen Dikti, 2008. Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Jakarta, dapat diunduh di http://sertifikasiguru.org/uploads/File/sertif08/buku3_Pedoman_Penyusunan_Portofolio.pdf [Januari 2009]
- L.T. Handoko, 2005a. A Simultaneous Model to Measure Academic and Financial Performances of Scientific Activities, Proceesing of the 7th ASEAN Science and Technology Infrastructure and Resources Development, Jakarta dapat diunduh di http://arxiv.org/ftp/physics/papers/0508/0508059.pdf [Januari 2009]
- L.T. Handoko, 2005b. Scientific and Financial Performance Meansure: A Simultaneous Model to Evaluate Scientific Activities, dapat diunduh arXiv:physics/0508052v3 [Januari 2009]
- L.T. Handoko, 2005c. Scientific and Financial Performance Meansure: A Simultaneous Model to Evaluate Scientific Activities, Journal of Theoretical and Computational Studies dapat diunduh [Januari 2009]
- Nulhakim, T. Rusman. 2007. Kinerja Guru dan Implikasinya pada tunjangan dalam Jabatan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi Khusus I (Tahun ke-13) Agustus 2007
- OCSP - Online Kalkulator Ilmiah untuk Kinerja, dapat diunduh di http://www.koki.lipi.go.id (2005) [16 Februari 2009]
- Pers Depdiknas, 2009. Disusun, kriteria Kinerja Guru, dapat diunduh di http://www.depdiknas.go.id/content.php?content=file_detailberita&KD=607 [19 Februari 2009]
- Setiawan, Ngadirin. 2008. Pengembangan Model Audit Kinerja Guru dalam mendukung Program Sertifikasi Pendidik. Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan 2008 Puslitjaknov Balitbang Depdiknas, dapat diunduh di http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_peserta/45_Ngadirin_PENGEMBANGAN%20MODEL%20AUDIT%20KINERJA%20GURU%20.pdf [21 Februari 2009]
- Yusrizal, 2008. Alternatif Penilaian Kinerja Guru. NAD: Serambi Online, dapat diunduh di http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1580 [25 Februari 2009]
No comments:
Post a Comment