Oleh Rachmad Resmiyanto
Massa saat berunjukrasa di depan kampus UAD. (Foto : Rani Dwi Lestari)
Sumber foto: http://www.krjogja.com/news/detail/36048/Dianggap.Persulit.UAS..Rektor.UAD.Didemo.html
Tiba-tiba, jagad kampus kita meriah. Hampir di setiap tempat di kampus ini, banyak orang, mulai mahasiswa sampai dosen, dari karyawan sampai pejabat, semua membincangkan angka keramat. Angka itu berbilang tiga per empat. Dalam notasi perseratusan, angka itu sama dengan 75%. Dari sekian banyak bilangan yang bisa dihitung manusia dan komputer, inilah angka yang menjadi topik hangat di kampus kita. Angka tentang batas jumlah kehadiran mahasiswa di ruang kuliah agar bisa mengikuti ujian akhir.
Pada salah satu dinding ditempel spanduk plastik besar berwarna biru. Dalam spanduk itu termaktub sebuah tulisan. Hurufnya ditulis besar dengan warna putih. "Sesuai dengan SOP syarat mengikuti UAS minimal 75% kehadiran".
Beberapa mahasiswa tak terima dengan syarat ini. Mereka melakukan aksi. Mereka menuntut syarat itu tidak diberlakukan. Mereka punya keinginan, UAS tetap bisa diikuti tanpa syarat kehadiran 75%.
Spekulasi kemudian merebak. Mereka yang mengusung aksi pastilah mahasiswa-mahasiswa yang suka bolos. Mereka yang mendukung dicabutnya syarat itu sebagian besar pasti tidak mementingkan kuliah. Mereka hanya mahasiswa-mahasiswa pemalas. Dan aksi itu hanyalah untuk mempertahankan kemalasan itu. Mahasiswa kita tidak cerdas. Cara berpikir mereka mundur ke belakang.
Saya hanyalah dosen kurcaci di sini. Saya rasa, aksi itu justru semakin meneguhkan citra bahwa kampus kita disesaki oleh mahasiswa-mahasiswa pilih tanding. Kita harus bangga punya mahasiswa seperti mereka.
Kita semua tahu bahwa kita menerapkan niatan mulia dalam menerima mahasiswa. Kita memandang mereka sebagai para penuntut ilmu yang sangat haus. Kita menyediakan telaganya di sini. Barangkali semacam telaga al kautsar, telaga yang diperuntukkan Nabi di surga sebagai ganti ketika Allah mengambil Ibrahim, anak lelakinya. Telaga yang akan membuat tiap orang yang meminumnya tak akan lagi kehausan. Ketika mereka ke sini, bagaimanapun keadaan mereka, nurani kita tidak tega untuk menolak dan menyuruh mereka ke tempat lain saja. Siapapun sepakat bahwa ini niat yang amat mulia. Niat mulia, tentu wajib bagi semua untuk berbaris mendukungnya.
Maka kita tak perlu heran ketika mereka melakukan aksi demo seperti kemarin. Itu adalah pilihan seorang ksatria.
Jangan sepelekan mahasiswa kita. Mahasiswa kita merupakan orang-orang yang berpikir matang, mendalam dan religius. Bagi mereka, setiap tempat adalah sekolah, setiap waktu adalah ilmu dan setiap orang adalah guru. Karenanya, mereka tak habis pikir dengan logika kita yang menginginkan mereka wajib hadir 75%. Dalam logika mereka, kehadiran bukanlah syarat mutlak keberhasilan kuliah. Bagi mereka, ilmu bukan hanya di ruang kuliah.
Kalau ditempat lain angka 75% sudah diterapkan sejak 17 tahun lalu, itu bukan menunjukkan bahwa kita ketinggalan jaman. Apalagi menunjukkan bahwa mereka jauh lebih maju ketimbang kita. Kalau DIkti mensyaratkan angka itu dan kini kita baru bergegas mengikutinya, itu juga tidak menunjukkan bahwa kita merupakan orang-orang yang tidak taat aturan. Tidak, sekali-kali tidak.
Kita tidak melanggar sedikitpun. Sekarang kita hanya sedikit under estimate saja terhadap mahasiswa. Bahwa jika mereka tidak rajin kuliah, maka mereka tidak akan dapat mengikuti ujian dengan baik. Bahwa ilmu yang akan mereka dapatkan akan sebanding dengan jumlah kehadirannya. Jangan-jangan mereka merasa direndahkan kecerdasannya.
Mahasiswa kita juga sangat filosofis. Mereka tak lagi menganggap kegiatan kuliah dengan cara pandang mekanik (mesin). Bagi mereka, sistem pendidikan tak bisa dijalankan dengan melihatnya sebagai sebuah mesin. Cara pandang ini, bahwa segala hal adalah mesin, memang pernah menjadi pandangan buana (worldview) sejak Rene DEscartes, Francis Bacon dan Newton meneguhkannya dalam filsafat alam (kelak disebut fisika). Hampir seluruh disiplin ilmiah kemudian meminjam cara pandang ini. Ia telah menjelma menjadi ideologi baru dalam kehidupan manusia. Maka kita tak perlu heran, tak ada yang beda antara dokter dengan montir. Kalau kita sakit, dokter adalah montir kita. Dokter memeriksa sekrup dan baut dalam tubuh kita. Sudah 100 tahun ini, tatkala teori kuantum mulai dirintis, cara pandang sistem sebagai sebuah mekanik ditinggalkan oleh para fisikawan. Dan kita tentu saja patut berbangga hati telah memiliki mahasiswa yang telah melampaui jamannya.
Mahasiswa kita adalah mahasiswa-mahasiswa yang sangat kuat karakternya. Kita hidup di sebuah jaman dimana pendidikan telah menjadi dagangan sehingga untuk mengenyam pendidikan butuh duit selangit. Sekolah dan kampus yang bonafit kemudian dicirikan oleh biaya yang mahal. Itulah ikon dan gaya pendidikan sekarang. Dan tahukah kita, mahasiswa kita begitu percaya diri untuk tetap kuliah di kampus kita yang amat murah. Mereka bangga dengan kampus kita. Mereka tidak malu kuliah dengan biaya murah. Mereka tetap merasa gagah dengan jas almamater warna oranye. Meski tiap kali mereka berdiri di emper toko, orang akan sulit membedakannya dengan tukang parkir toko. Mahasiswa kita memang kuat karakternya.
Meski begitu, jika kemudian kita tetap menganggap bahwa demo tempo hari merupakan aksi yang tak cerdas, kita perlu maklum sebab selama ini pensil-pensil mereka memang patah.
Saya rasa demo kemarin sore merupakan cermin wajah kita semua.
Catatan saya: tulisan ini sebenarnya hanya merangkum beberapa postingan yang sudah ada. saya tulis ulang dengan nuansa yang berbeda. percayalah, tak ada niat buruk dalam tulisan ini. tabik.
No comments:
Post a Comment