Wednesday, March 18, 2009

Ketika Manusia Berjumpa Sains

Rachmad Resmiyanto


KAPANPUN manusia berjumpa dengan sains, maka ia akan bertemu dengan sebuah revolusi. Perjumpaan dengan sains adalah perjumpaan yang menentukan, membangkitkan semangat sekaligus menggairahkan. Tatkala sains sudah menyusup ke dalam budaya manusia, maka hanya perubahan demi perubahan yang akan disuguhkan. Jalan baru dalam peradaban senantiasa diretas oleh perjumpaan ini sampai warna lama dalam budaya memudar perlahan dan acapkali juga menyentak dan berganti rupa dengan warna baru budaya. Inilah perjumpaan agung antara manusia beserta segenap mekar wangi budayanya dan sains yang selalu membawa janji dan semangat hidup yang berderap.

Setiap lanskap budaya dan peradaban manusia ditegakkan di atas pilar-pilar pandangan hidup yang dengannya manusia memiliki sebuah cara untuk mengamati, memilah, memilih dan menilai segala sesuatu yang hinggap di sepanjang lintasan perjalanan sejarahnya. Cara pandang ini berakar kuat pada sikap terhadap dirinya sendiri sebagai manusia dan sikap terhadap alam semesta, ruang di mana manusia dan peradabannya menjejak. Penelusuran lebih jauh akan mengungkap bahwa mata air cara pandang manusia adalah ilmu pengetahuan, yang dalam makna generiknya selalu identik dengan sains. Memang harus diakui, jalinan interaksi yang terjadi antara cara pandang dan sains bukanlah melulu komunikasi searah tapi seringkali juga menunjukkan komunikasi dua arah. Namun, dalam banyak hal harus pula diakui bahwa segala yang telah dicapai oleh sains pasti akan menerbitkan dampak perubahan dalam pola peradaban. Perjumpaan dengan sains selalu saja melompatkan manusia ke fase eksitasi, sebuah fase peradaban yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.


Segala hal yang dicakup dalam sains merupakan segala yang mendasar dalam diri manusia, kehidupan dan alam semesta. Takdir manusia sebagai makhluk yang paling sempurna (ahsanu taqwim) telah menyebabkan manusia terus sibuk bertanya dan mencari tahu segala yang melekat dalam dirinya dan segala yang berkitaran di luar dirinya. Ikhtiar manusia di segala lapisan jaman dapat kita lacak sejak manusia pertama Adam ‘alaihis salam tercipta.

Segala kesempurnaan surga ternyata masih bisa menyembulkan rasa keingintahuan yang luar biasa dalam diri Adam a.s. Sakitnya penasaran ini menemukan obatnya tatkala iblis membualkan resep rahasia dibalik larangan Allah untuk mendekati pohon terlarang. Keingintahuan, yang merupakan aspek mendasar dalam sains, ini berujung pada pengusiran Adam a.s. ke bumi. Inilah revolusi pertama dalam sejarah panjang manusia. Sebuah era yang belum pernah terbayangkan sebelumnya kemudian hadir. Penyesalan dan kebingungan menghadapi perubahan yang amat dramatik ini terejawantah dalam sujud panjang Adam yang seraya berseru berbalut duka nestapa kepada Allah Tuhan seru sekalian alam.

Babak berikutnya dimainkan oleh Ibrahim yang menggalah bintang, menakjubi keperkasaan matahari dan mengagumi temaram rembulan. Ayat-ayat kitab suci mengabarkan Ibrahim sedang mencari Tuhan. Pertemuan ini kemudian memasok energi keberanian pada diri Ibrahim untuk menentang Namrud sang kaisar agung saat itu. Perjumpaan Ibrahim dan cara pandangnya terhadap keagungan benda-benda langit telah membalikkan sikap, menguatkan karakter dan menganggap segala sesuatu di luar Allah adalah kecil dan bukan sesuatu yang harus ditakuti, apalagi hanya sekumpul kobaran api.

Maka, demikian pula dengan cara pandang terhadap hidup sesudah mati yang dianut manusia Mesir kuno yang telah menggerakkan para Fir’aun untuk menanam limas segi empat (piramida) sebagai tempat bersemayam kala badan sudah ditinggal pergi oleh ruh. Cobalah untuk menghitung berapa banyak tenaga yang diperlukan dan berapa balok batu yang harus disusun.

Semakin panjang jejak perjalanan manusia disusur, semakin banyak ditemui jejak-jejak sains dan perubahan sikap manusia. Seolah jejak-jejak itu ingin menegaskan bahwa kehadiran sains di tengah-tengah manusia senantiasa dibersamai oleh hadirnya perubahan. Kala pertemuan dengan sains, manusia disuguhi jatining kayekten maka seketika akan terbit pencerahan. Sebaliknya, pertemuan dengan sains akan menyebabkan manusia terjerembab dan tertatih di medan hidup berikutnya. Maka, demikianlah tarekat sains di tengah budaya dan peradaban manusia.



SEJARAH telah mengajari manusia bahwa peradaban adalah siklus. Maka, ketika Eropa berada dalam masa yang sesak dengan kebodohan dan takhayul, sementara pada saat yang sama di belahan bumi lainnya telah tergelar peradaban yang amat terang, siklus itupun menagih janjinya. Yang pertama kali masuk menyelinap ke Eropa saat itu tentu saja adalah sains, sang panglima peradaban dan sang peretas jalan baru.

Kedatangan sains di tengah kegelapan bangsa Eropa ibarat ratu adil yang sudah lama ditunggu segenap rakyat yang mendamba kesejahteraan dan kemakmuran. Begitu sains mulai diterima dan hidup di Eropa, maka segenap kebodohan dan segala hal yang karib dengan takhayul atau irrasionalitas lantas dimusnahkan dan tidak diberi ruang untuk berkembang. Laiknya sebuah kelahiran apa saja, lagi-lagi kesadaran baru yang dihadirkan sains ini telah memindah masyarakat Eropa menuju sebuah era yang sama sekali belum pernah terbayangkan sebelumnya. Kelak, orang-orang menyebut era itu adalah era modernisme. Sekali lagi, inilah salah satu janji perubahan yang dibawa oleh sains setiap kali ia masuk ke tengah-tengah peradaban.

Modernisme masuk ke dalam peradaban Eropa dengan segudang janji untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan irrasionalitas. Di era ini, rasio manusia betul-betul diagungkan. Tokoh kuncinya adalah Descartes yang dengan gagahnya menggemakan skeptisisme, cara pandang terhadap apapun dengan cara meragukan apapun juga. Semua yang ada di sekitar harus diragukan, bahkan termasuk diri sendiri. Puncak dari keragu-raguan itu adalah menemukan sesuatu yang sudah tidak bisa diragukan lagi yaitu pikiran, cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Apabila diungkap dengan cara yang lain, Descartes sesungguhnya sedang meneriakkan perlunya penekanan rasio dalam ikhtiar untuk mengenal realitas. Dalam sebuah upaya memahami realitas ini, manusia adalah subjek dan dengan demikian ia menjadi pusat epistemologi. Dalam cara pandang ini, manusia memang memiliki keistimewaan.

No comments:

Post a Comment