Rachmad Resmiyanto
KATA SEORANG KAWAN, mahasiswa merupakan faktor amat penting yang menentukan hampir setiap pertumbuhan, perkembangan, penyurutan serta perubahan kehidupan di negara saya. Konon, titik-titik balik sejarah negara ini selalu digoreskan pertama kali oleh mahasiswa. Sebutlah peristiwa tahun 1908, 1928, 1945, 1965 dan 1998. Semuanya merupakan bagian dari seri kontribusi mahasiswa terhadap Indonesia. “Yang pasti perjuangan ini akan terus berlanjut hingga akhir jaman. Karena secara sosiologis mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki sifat progresif, kritis dan idealis, dan selalu ‘gelisah’ ketika melihat jalannya kehidupan yang tidak ideal”, demikian kawan saya mencoba meyakinkan saya. Sifat itu pulalah yang menjadi alasan dan mendorong keterlibatannya dalam berbagai diskusi, demonstrasi dan aktivitas beberapa organisasi mahasiswa. “Mahasiswa adalah agent of change. Iron stock”. Kalimat terakhir inilah yang selalu saya ingat dari dia. Menurut kawan saya, predikat mahasiswa merupakan prestasi sejarah dalam kehidupannya sebagai manusia. Ia menyayangkan kenapa begitu sedikit manusia Indonesia yang menjadi mahasiswa. Bagi dia seolah-olah setiap manusia akan rugi hidupnya jika ia belum pernah menjadi mahasiswa. Siapapun orang tuanya, dosen, bupati, tukang becak sampai penjual nasi kucing, kalau bisa tetap harus masuk perguruan tinggi. Bergabung dengan kawanan intelektual yang disebut masyarakat sebagai mahasiswa.
Kawan saya tadi mungkin baru lupa. Bahwa untuk masuk perguruan tinggi biayanya pun juga lumayan tinggi. Namanya juga perguruan tinggi, tentu amat berbeda dengan biaya yang harus dikeluarkan saat sekolah di SMU dan SLTP dulu. Paling tidak ini berlaku bagi yang orang tuanya tukang becak, petani kecil, penjual nasi kucingan, atau pegawai negeri rendahan seperti saya.
Itu baru biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk mendapatkan sepotong status “mahasiswa”. Belum biaya yang lain. Sebab namanya biaya kan tidak harus berujud uang. Namun bisa berbentuk selain itu. Jangan lupa di sana juga termasuk gengsi. Bagaimana mungkin jika seluruh kakak-kakaknya adalah mahasiswa, kemudian ia begitu saja menjadi bukan mahasiswa hanya karena tidak lolos tes masuk?
Maka betapapun rumit pola dan jalur yang ditempuh untuk menjadi mahasiwa akan tetap ia jalani. Pola itu bisa pola A, B, C. Jalurnya pun bisa jalur swadaya atau yang lain. Meski itu semua harus melompati jalur yang seharusnya paling dipertimbangkan, swakarsa. Jalur inilah yang paling sering dimatikan, diterobos rambunya, dan luput dari perhatian kita semua. Sehingga tak perlu heran jika setiap tahun peserta SPMB kebanyakan justru berasal dari mahasiswa baru. Mungkin ini bisa menjelaskan kepada kita salah satu alasan sulitnya masuk perguruan tinggi lewat tes seleksi. Yang dihadapi oleh adik-adik yang baru lulus SMU adalah kakak seniornya yang sudah pengalaman setahun dua tahun di bangku kuliah. Maka yang sebenarnya terjadi dalam ujian masuk adalah pertarungan antar sesama veteran SMU dan ditambah common enemy : mahasiswa baru.
INDONESIA PASTI TERSENYUM jika ia melihat betapa gembiranya mahasiswa senior kala ia mendapatkan adik-adik angkatan baru. Anda bisa membayangkan betapa besar kadar cinta mereka sampai rela tidak pulang kampung saat liburan semester pendek hanya demi menyiapkan upacara penyambutan bagi adik-adiknya tercinta. Saking cintanya sama adik-adiknya, mereka mewajibkan seluruh mahasiswa baru harus mengikuti upacara itu. Mereka tidak rela jika ada diantara adik-adiknya tidak kebagian ‘kenduri cinta’ dari kakak seniornya. Yang lebih penting dari itu, kakak senior kita ini juga tidak rela jika adik-adiknya disambut oleh sebagian kakak seniornya yang dianggapnya ‘berdosa’. Karenanya adik-adik kita harus diselamatkan dari tangan-tangan berdosa saat mengikuti ritual upacara penyambutan nanti. Setiap kampus pun akhirnya membalut upacara ini lain-lain. Bergantung ‘kelompok siapa’ yang memenangkan pertarungan dan menjadi panitia upacara penyambutan itu.
Itu hanya persoalan teknis mekanis. Sebab siapapun saja yang menyelenggarakan ritual upacara tadi, toh orang tetap mengenalnya sebagai OSPEK. Label ini terlanjur menyimpan kenangan pahit dan mengerikan bagi adik-adik, namanya pun akhirnya diubah agar kelihatan bersahabat, benar-benar mengasyikkan, dan memberikan janji-janji yang mencerahkan; Inisisasi Kampus. Bahkan ada kampus yang cukup kreatif dengan memberi nama upacara itu dengan SENGSU SASA; SenENG SUsah SAma-SAma. Kendati begitu, tetap saja OSPEK lebih terkenal sebagai ajang plonco dibandingkan kenduri cinta Sang Kakak.
Di sanalah kakak senior bebas untuk membentak, menghukum, memarahi bahkan sampai memukul adiknya. Memberi tugas yang aneh dan menggelikan. Bahkan kadang tidak mencerminkan siapa yang diberi dan memberi tugas. Pokoknya segebok tugas yang diberikan sore hari itu harus sudah selesai esok paginya. Bagi yang tidak menyelesaikan, ia akan menjadi peserta kenduri dari kakak seniornya.
Rupanya baru sampai pada tingkat inilah kakak-kakak senior dalam memahami kenduri cinta bersama adiknya. Kalau tugas tidak selesai, ya harus siap dihukum. Tinggal memilih hukuman mana yang disukai. Ada beberapa pilihan yang disediakan: push-up, lari keliling lapangan, berpidato sendirian di tengah lapang, atau berdiri mematung dan mendengarkan ledakan-ledakan kemarahan kakaknya.
Tidak mahasiswa namanya jika ia tidak cukup arif. Demikian pula kakak senior kita ini. Kakak senior kita masih memeluangi mereka yang dihukum untuk bisa lari dari hukuman jika saja mereka sanggup membayar kekecewaan dan kekesalan kakak seniornya. Misalnya dengan nyanyi lagu anak-anak. Melompat-lompat seperti kodok sambil berkata “Koek koek”. Berjalan mengitari kampus dengan menyelempangkan tulisan “Jangan dekati Aku! Aku anak gila”.
Wahai Indonesia, saya mohon maaf, baru sampai ditingkat itulah kakak senior saya memaknai arti sebuah kenduri cinta. Sebuah upacara yang diharap merupakan upacara kesadaran pertama bagi mahasiswa yang akan menapaki kehidupan kampus. Upacara yang bisa membukakan pintu kebingungan sebab dunia yang akan dihadapi sekarang sudah lain dengan dunia SMU. Upacara yang bisa meluaskan cakrawala kebebasan dalam mengemukakan gagasan dan pendapat, sebab dipundaknyalah Indonesia kelak akan dipanggul.
Saya tidak berani menfasirkan lebih dalam pesta kenduri cinta mereka dan menarik garis paralel ke dalam konteks Indonesia sekarang. Sebab siapa pernah menyangka jika sesungguhnya kakak senior kita tadi sedang melakukan drama parodi tentang Indonesia.
“Tidak! Itu adalah perploncoan”, seorang kawan saya berteriak. Jika memang itu adalah perploncoan maka kenapa tiap tahun perpeloncoan itu di bahas, dikritik, dikecam, tapi tahun-tahun berikutnya masih saja terulang lagi? Itulah pertanyaan saya padanya. Apakah mahasiswa sekarang tidak cukup cerdas kalau hanya untuk sekedar menghilangkan bagian kekerasannya saja. Apakah tidak bisa upacara tersebut dikemas secara fun dan penuh gelak tawa. Bukankah akan lebih sedap jika semua bisa saling berbagi tawa dan canda?
Jika memang tawa dan canda saja sulit dimasukkan padahal ia adalah salah satu syarat manusia untuk bahagia, maka saya pun jadi curiga, jangan-jangan ini memang sebuah kebutuhan. Pastilah kakak senior kita sudah melakukan serangkaian analisis sosial yang matang sehingga humor pun sulit untuk masuk menyelinap menjadi bagian dalam ritual upacara tersebut.
Ini adalah serius. Membina generasi memang perlu sebuah keseriusan seperti jika kita ingin membangun kembali Indonesia. Tidak bisa menggunakan senjata tertawa dan ajian canda maupun obat bubuk humor. Siapa yang melanggar harus disikat, tak peduli ia anak siapa, berasal dari mana dan berapa uang saku yang ia bawa. Semuanya harus taat pada aturan. Tidak boleh tidak. Pada tingkat pemahaman seperti ini saya mungkin bisa menyarankan agar Indonesia belajar dari kakak senior kita.
Pada dimensi lain, perploncoan itu juga bisa dimaknai secara lain pula. Bisa menggunakan ketajaman pisau analisis mahasiswa ilmu sosial dan boleh mencoba memakai pendekatan ilmu preman. Sebab apa yang dilakukan kakak-kakak senior memang bisa masuk kategori premanisme bila kita hanya melihatnya dari segi tindak kekerasan yang dilakukan. Artinya ini adalah sebuah pertanda bahwa premanisme bukan hanya milik kaum berandal di pasar dan lapangan kriminal, namun telah menyatu pula dalam aliran darah mahasiswa yang selalu bangga dengan sebutan ‘penyangga moral bangsa’.
Saya akan angkat tangan jika harus menjawab pertanyaan: ”Apakah ini dilakukan semata-mata karena iri pada preman-preman kerah putih sehingga mereka pun ikut-ikutan dengan mengerjai yuniornya dengan cara preman?” Sebab di sana memang tidak ada uang yang bisa digasak. Dan hanya adik yunior lah, satu-satunya makhluk Tuhan yang bisa dijadikan objek pelampiasan. Bukankah kita adalah masyarakat yang melarang siapapun melakukan korupsi kalau kita tidak ikut kecipratan?
Dalam jagad kriminalitas, perploncoan merupakan salah satu bentuk tindakan bully. Mereka yang menjadi korban bully umumnya punya kecenderungan yang kuat untuk menjadi bullier. Dan plonco jelas bukan kebutuhan dari perguruan tinggi karena bertentangan dengan segala gagasan pendidikan yang mencerahkan dan membebaskan, melainkan kebutuhan para “pervert”, mahasiswa yang jiwanya lemah. Mereka ini mungkin korban dari senior sebelumnya. Dan senior sebelumnya juga merupakan korban dari seniornya yang dulu. Jika kita menarik dalam perspektif yang lebih luas maka korban korupsi (misal pada penerimaan pegawai) cenderung pula menjadi koruptor. Korban kesewenang-wenangan akan mudah berlaku maharajalela. Demikianlah kebobrokan kalau tidak disetop akan melahirkan kebobrokan lebih lanjut.
Jika memang benar apa yang saya utarakan di atas merupakan gambaran dari masyarakat Indonesia secara luas, maka meminjam istilah Gunawan Mohammad saat menyebut pentas drama Bip Bop nya Rendra dengan drama mini kata, maka kita pun bisa pula menyebut drama dalam perploncoan tadi sebagai ‘drama mini Indonesia’.
Sesungguhnya-lah drama perploncoan yang dipentaskan oleh kakak senior kita dengan adik-adiknya adalah suatu tolok ukur kecil akan kemampuan masyarakat kita terutama dalam menyetop rantai kebobrokan. Kalau yang kecil saja kita (baca: mahasiswa) sudah angkat tangan dan merasa tidak mampu, bagaimana mungkin bisa mengatasi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika mahasiswa saja yang masih suci (?) dari kepentingan merasa sulit dan tidak sanggup untuk menghentikan plonco, bahkan terkesan menumbuhkembangkannya, maka bagaimana nanti jika seandainya mereka sudah bukan mahasiswa lagi dan menghadapi perkara yang lebih besar, menggairahkan dan menyimpan banyak uang?
Mohon maaf, ini hanyalah plonco dan dilakukan kawan sendiri. Dan mereka pun tahu bahwa mengurusi perploncoan tidaklah berarti kaya. Tidak ada bagi-bagi duit di sana. Dan masalah plonco bukanlah masalah premanisme politik yang sulit diberantas di negara saya karena di sana memang ada yang melestarikan dan menumbuhkembangkannya.
MAHASISWA kita memang makhluk yang kreatif di dunia ini. Ia selalu saja tangkas dan cekatan dalam menyiapkan seluruh perkakas, keahlian maupun kelihaian yang diperlukan seandainya nanti sudah tidak menyandang predikat mahasiswa lagi, keluar dari dunia kampus menuju dunia nyata. Bukan mahasiswa namanya jika ia tak sanggup mempersiapkan masa depannya sejak sekarang.
Maka ditirunya Indonesia dalam sebuah miniatur di kampus saya. Seolah-olah kampus saya adalah sebuah negara dan seluruh mahasiswa di dalamnya adalah warganya. Demikianlah, dalam pranata politik ‘negara kecil’ saya yang paling mutakhir, dijumpai adanya lembaga yang melaksanakan dan lembaga yang mengontrol. Negara kecil saya dipimpin oleh seorang presiden yang setiap tahun dipilih ulang dalam pemilihan raya atau pemira. Presiden diawasi oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa yang juga dipilih melalui mekanisme partai politik.
Pada hari-hari kampanye suasana perpolitikan di kampus saya kian semarak dengan semerbak partai politik mahasiswa. Saat itu partai akan menggejala pada hampir semua gerakan mahasiswa yang berniat menggelar seremoni demokrasi melalui pemira. Ini bisa dimaklumi sebab memang prinsip-prinsip demokrasi mensyaratkan adanya saluran-saluran formal untuk menjalankan fungsi aktualisasi kepentingan sekelompok masyarakat tertentu.
Saat itulah sebenarnya pertarungan antar kelompok mahasiswa benar-benar dimulai. Segera kita akan menyaksikan pemandangan adanya upaya untuk menelikung antar sesama partai dan dengan cara apapun. Toh yang tahu cuma beberapa gelintir mahasiswa. Sedang mahasiswa yang lain tidak perlu merasa tahu, dan kalau pun tahu paling cuma diam sebab itu tak akan pernah ditanyakan oleh Pak Dosen di dalam ujian.
Pertarungan kelompok mahasiswa itu begitu nyata namun tetap saja hampir-hampir tidak ada mahasiswa yang ambil peduli. Satu kelompok mahasiswa bisa menelurkan sampai sepuluh macam partai dan biasanya mereka mempunyai satu partai induk. Satu hari sebelum hari pencoblosan, partai-partai gurem itu segera mencabut calonnya dan menyatakan baiatnya untuk hanya mendukung satu calon presiden yang sudah disepakati bersama sebelumnya.
Begitu presiden terpilih, maka yang menjadi rebutan selanjutnya adalah kabinet. Presiden yang berasal dari kelompok A selalu saja mendahulukan kelompoknya untuk sebanyak mungkin memberikan kesempatan menempati kabinet. Ini namanya presidenyang mengerti balas budi. Namun bagi kelompok B ini dianggap sebagai kebijakan yang tidak adil. Mereka kemudian mencak-mencak dan mengancam kelompok A, “Kami akan keluar jika kami hanya diberi jabatan yang ini-ini saja!’.
Kalau hanya sekedar ancaman keluar dan tak mau berpartisipasi dalam pemerintahan, itu justru menguntungkan kelompok A. Namun ancaman ini bukan sekedar gertakan biasa, sebab biasanya diikuti dengan upaya untuk mendelegitimasi pemerintahan hasil pemira. Paling tidak, kelompok B akan membiarkan kelompok A mati kelimpungan mengurus negara kecil saya. Suatu saat, mereka keluar sambil mencemooh bahwa kelompok A ternyata tidak ‘becus’, sehingga ada alasan bagi mereka untuk tidak lagi percaya pada kelompok A. Dus, ada alasan untuk mengambil alih negara di kemudian hari nanti. Paling tidak sudah ada bahan untuk mencemooh pada kampanye pemira berikutnya.
KITA MEMANG HIDUP di dalam sebuah kebudayaan di mana kita akan melarang praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan kalau kelompok kita atau paling tidak kita sendiri tidak ikut kecipratan. Kita akan mengatakan korupsi adalah tindakan yang menghisap darah rakyat jika kita tidak diundang dalam kenduri. Kita mencerca tindakan bagi-bagi jabatan sebagai praktik nepotisme sebab kita dan orang-orang dekat kita tidak mendapatkan jatah.
Bagi kita, yang disebut tokoh adalah orang yang kita senangi, kita akui kehebatannya, kita dorong-dorong untuk maju, selanjutnya kita perjuangkan dan bela mati-matian agar ia berhasil menjadi pemimpin, bukan hanya bagi kelompok kita namun juga bagi kelompok yang lain. Karena kalau berhasil, niscaya kita akan mendapatkan berbagai kemudahan dari beliau, memperoleh akses-akses tersembunyi, bisa menang tender dan sekaligus dapat proyek, bisa jadi calo jabatan bahkan menjadi pejabat itu sendiri.
Calon pemimpin adalah orang yang kalau dia menjadi pemimpin kita harapkan memberi keuntungan kepada kita. Kalau calon dari kelompok kita kalah, kita cari dari kelompok lain tentu dengan kriteria, ‘yang penting menguntungkan’. Sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada golongan kita, partai kita, kelompok kita: kalau terpaksanya tidak bisa maksimal, ya, yang penting bisa memberi keuntungan bagi kita pribadi dan keluarga kita.
Menyimak negara kecil saya, sesunguhnya kita sedang menyaksikan wajah Indonesia yang sesungguhnya. Bedanya, kalau negara kecil saya dipimpin oleh presiden yang masih mahasiswa, rakyatnya masih mahasiswa, dan yang diperebutkan hanyalah remahan-remahan kekuasaan. Sementara Indonesia, benar-benar dipimpin oleh presiden. Boleh anak presiden kemarin, tokoh partai, atau siapa saja bahkan tidak menutup peluang eks mahasiswa. Rakyatnya pun ada yang mahasiswa dan tidak mahasiswa. Dan yang penting, yang diperebutkan adalah benar-benar kekuasaan yang sesungguhnya.
Hidup sebagai mahasiswa adalah seperti berpiknik ke taman mini Indonesia. Kalau engkau ingin menyaksikan wajahnya, engkau harus mendekatinya agar jelas jerawat di pipinya dan bisul di keningnya. Kalau engkau ingin merasakan betapa harum bau badannya, engkau pun harus mau, maaf, merasakan dulu bau kentutnya.
Kalau ingin tahu bagaimana peran mahasiswa dalam mengelola dan memimpin Indonesia, lihatlah kampus saya. Sebab mahasiswa memang bukan siapa-siapa. Mahasiswa juga seperti kita. Mereka bukan malaikat dan juga bukan setan, namun bisa seperti kedua-duanya.<2003>
Juara Terbaik 2 dalam Lomba Esai "Mahasiswa dan Kepemimpinan Bangsa"
Dies Natalis UGM Tahun 2003
No comments:
Post a Comment