Rachmad Resmiyanto
SAYA TIDAK BEGITU PAHAM dengan bahasa Inggris, namun saya curiga terhadap hubungan dua kata yang agak berbeda tapi mempunyai kemiripan dalam fonem, journey dan journalist. Kata pertama biasa diartikan perjalanan dan kadang diterjemahkan petualangan atau penjelajahan. Kata kedua merupakan ungkapan untuk para kuli tinta. Saya tidak mengetahui akar sejarah dari kedua kata itu. Namun, bagi saya kedua kata itu mempunyai hubungan yang erat dan saling berkelindan. Seorang journalist senantiasa melakukan journey, baik dalam pengertian bepergian maupun dalam arti bertualang dalam rimba ide, gagasan dan tentu saja berita.
Simak saja. Seorang Inul Daratista yang bukan apa-apa tiba-tiba menjadi sosok yang penting dan fenomenal dalam dunia dangdut. Kosmos dangdut berguncang oleh kehadiran Inul. Konstelasi pentas dangdut berubah total oleh adanya Inul. Ia menjadi bintang gemintang dan yang lainnya menjadi figuran. Semula, ia hanya pejoget dangdut yang berkeliling ke desa-desa. Namun, sekarang ia adalah Ratu Ngebor Indonesia. Popularitasnya mampu menyihir jutaan orang dan aksinya mampu menyita perhatian pro-kontra di dalam masyarakat kita. Ia menjadi terkenal sekaligus mahal karena dukungan para journalist yang ber-journey di media massa.
Sesuatu yang semula remeh dan tak diperhitungkan, jika media mengggarapnya, bisa menjadi perhatian yang mengguncangkan sekaligus menguras pikiran bagi yang tidak sependapat.
DALAM SEBUAH DEMOKRASI yang ideal dikenal adanya konsep ruang publik. Ruang publik ini memberi tempat dan kesempatan berbagai elemen masyarakat untuk bersilang pendapat tentang masalah yang menyangkut kepentingan publik. Setiap warga, siapapun dia, dengan demikian, memiliki kebebasan untuk bukan hanya mendengar namun juga menyuarakan pendapat.
Maka, demi menyempurnakan demokrasi, setiap media senantiasa mempunyai rubrik semacam surat pembaca. Namun, rubrik ini beroperasi dengan lapisan-lapisan penyaring yang lumayan ketat sehingga hanya berpotensi memperlemah keinginan publik dalam keaktifan berpendapat. Bayangkan, mereka harus menyertakan identitas pribadi yang masih berlaku, harus menulis dengan format yang tertentu, menyertakan tanda tangan, atau mengikuti segenap persyaratan lain yang ditetapkan media yang harus dipenuhi. Dan setelah segenap prosedur itu dilalui, komentar itu bisa jadi cuma dibaca oleh sekretaris redaksi yang mungkin bahkan tak meneruskannya kepada siapa-siapa dengan alasan ‘terlalu banyak surat senada yang masuk’.
Media juga kadang berusaha mengangkat pendapat masyarakat dengan mewawancarai secara acak warga kebanyakan tentang isu yang baru bekembang. Tapi kita tahu bahwa para jurnalis acapkali sangat selektif dalam menentukan siapa yang akan diwawancari. Penyakit yang sama terjadi pada jajak pendapat yang banyak dilakukan media akhir-akhir ini. Bahkan nampaknya ada semacam kecenderungan bahwa polling-polling yang meminta masyarakat untuk berpartisipasi sudah mengalami proses politisasi oleh mereka-mereka yang terlibat kontroversi itu. Ketika perselisihan soal RUU Sisdiknas menghangat, sebuah surat kabar meminta pembacanya untuk menyatakan sikap soal RUU tersebut. Di hari-hari pertama, hasil polling menunjukkan betapa tinggginya dukungan terhadap salah satu kubu. Namun menjelang ditutup, dengan segera terlihat adanya semacam mobilisasi massa tandingan untuk memperkokoh kubu yang lain.
Publik mengakui bahwa eksistensi media adalah berlaku jujur dan tidak memihak siapa pun sekaligus bersikap adil dalam menyampaikan pemberitaan yang mengarah pada suatu kasus. Sayangnya, meski media telah memahami dan juga mengakui komitmen ini, toh dalam praktiknya tidak jarang egoisme jurnalistik muncul. Kasus pemberitaan STPDN merupakan contoh nyata. Di sini, opini publik benar-benar ditentukan dan dikendalikan oleh media.
Pada titik ini, media masssa pada akhirnya tidak bisa terlalu diharapkan menjadi penjamin keberlangsungan ruang publik karena satu hal sederhana: mereka sudah menjadi semakin dikuasai oleh kepentingan–kepentingan lain di luar kepentingan demokrasi.
Konsekuensi munculnya egoisme jurnalistik ini akhirnya justru akan merugikan media sendiri, terutama jika dikaitkan dengan salah satu pihak yang merasa dirugikan atas isi pemberitaan yang disampaikan. Bahkan, banyak kasus yang terjadi, sebuah media di demo publik karena dianggap keberadaanya dilecehkan media dan atau ekspose pemberitaan yang dilakukan tak berimbang.
Padahal, ada keyakinan yang sangat kuat, bahwa opini publik merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pembanguan demokrasi dalam suatu negara. Jadi jika opini publik terbius egoisme media, maka bisa dipastikan bahwa opini publik akan menjadi tumpul dan proses ketumpulan ini akan menjadi suatu ancaman serius bagi pembodohan suatu generasi.
Bukan hanya itu, sekarang ‘sang anjing penjaga’ (watchdog) inipun tumbuh menjadi industri. Informasi menjadi barang komoditas, dan journalist yang ber-journey di dalam media tidak lagi berpikir dengan memprioritaskan hak puiblik untuk tahu. Kalau dulu ancaman terhadap kebebasan media datang dari negara atau penguasa, kini itu datang dari mereka yang mengelola media sendiri. Journalist memang tidak dibayar oleh ideologi yang ada dalam benaknya, namun ia dibayar oleh pemilik media di mana ia bekerja. Akibatnya journey pun tidak terasa enjoy.
Ketika media menseleksi informasi, kerap hanya dengan menggunakan rujukan kepentingan sebagai entitas bisnis atau politik. Proses demokratisasi dalam rapat redaksi haya bisa terjadi dalam media-media yang sudah mapan secara kapital dan nama. Tetapi, buat media-media lain, intervensi pemilik modal di dalam media sangat besar. Bahkan sekitar 90 persen media di Indonesia masih dipimpin oleh pengusaha yang sama sekai tidak mengerti jurnalistik. Opini publik pun sangat rentan untuk diperjualbelikan. Opini publik hanya akan berpihak pada satu kelompok saja: mereka yang bermodal besar.
Opini publik itu bisa dibentuk. Sebab itu, opini publik yang muncul dalam pemberitaan media massa belum tentu benar. Dalam jangka waktu tertentu, media massa memang dapat membuat opini publik dan mempengaruhi masyarakat. Akan tetapi, pada saatnya, hati nurani dan pikiran umum yang benar tidak dapat ditutup-tutupi.
Media massa tidak boleh hanya memperjuangkan kebebasan untuk dirinya sendiri. Sebab, ada yang lebih tinggi nilainya dibanding kebebasan itu sendiri, yakni hati nurani. Hati nurani akan beroperasi, sehingga hanya media yang mempunyai nuranilah yang bisa di terima oleh masyarakat. Sebaliknya, media yang cuma mengedepankan kebebasan secara alami akan menghadapi kendala dalam penerimaaan masyarakat.
Oplah merupakan salah satu ukuran penerimaaan masyarakat kepada suatu media. Saya percaya, naik atau turunnya oplah sebuah media itu tergantung pada keberhasilan belajar pada hati nurani. Hati nurani yang bisa berbentuk pikiran umum, dan bukan opini publik, tak bisa dibohongi terus menerus. Jika media tetap menerabas hati nurani, maka mulai sekarang juga, kita sedang menunggu kematian media.[jan2004]
Juara I Lomba Penulisan Artikel SKM Bulaksumur Pos UGM (2004) dengan tema Media dan Opini Publik
No comments:
Post a Comment