Thomas Samuel Kuhn, seorang fisikawan Harvard, adalah salah satu nama yang "diberkati" dalam filsafat ilmu. Adikaryanya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), telah ikut mewarnai bagaimana kita dapat memberikan penafsiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Buku itu merupakan salah satu buku akademik di abad ke-20 yang memiliki pengaruh besar, bukan hanya bagi fisikawan dan ilmuwan filsafat ilmu, melainkan hampir seluruh ilmuwan di segenap disiplin ilmu.
Kuhn telah mentahbiskan sebuah istilah baru dalam filsafat ilmu, yakni paradigma. Setiap kata ini disebut di berbagai pembicaraan disiplin ilmu, istilah ini pasti dilekatkan dengan sosok Kuhn.
Gagasan Kuhn dalam buku tersebut (lihat Kuhn (2002)), yang juga coba disaripatikan oleh Malcolm R. Foster melalui artikelnya "Guide to Thomas Kuhn's The Structure of Scientific Revolutions" 1998, secara sederhana dapat diungkapkan dalam skema berikut:
Paradigma I ---> Sains normal ---> Data anomali ---> Krisis dan Revolusi ---> Paradigma II
Paradigma
Kuhn melihat bahwa dalam suatu rentang waktu tertentu, ilmu pengetahuan didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma ini akan membimbing para ilmuwan ketika bekerja dalam masa sains normal. Kuhn tidak menjelaskan secara teguh (konsisten) tentang istilah ini sehingga keterangan yang diberikan acapkali berubah konteks dan arti. Namun, dalam seluruh isi buku tersebut pemilihan istilah paradigma sangat erat terkait dengan terma sains normal (normal science). Seturut dengan itu, bagi Kuhn sains normal merupakan praktik-praktik ilmiah nyata yang dalam suatu kurun tertentu berterima (accptable) dan disepakati oleh mayoritas ilmuwan. Praktik ilmiah ini mengandung seluruh aspek yang terkait dalam disiplin ilmu sains yaitu, teori, dalil-dalil penerapan maupun instrumentasi yang semuanya berkelindan dalam tradisi-tradisi padu tertentu dan riset ilmiah.
Pada kesempatan yang lain, Kuhn menyatakan bahwa paradigma merupakan kerangka referensi berpikir yang mendasari sejumlah teori maupun praktik ilmiah dalam kurun tertentu.
Selama para ilmuwan berada dalam masa sains normal, seluruh kegiatan ilmiah para ilmuwan akan dibimbing oleh paradigma. Pada kurun ini, para ilmuwan tidak disibukkan dengan hal-hal yang amat mendasar sehingga dapat mengembangkan ilmu secara lebih rinci dan mendalam. Selama kegiatan ilmiah ini, sangat dimungkinkan ilmuwan akan menemukan fenomena-fenomena yang sulit dijelaskan dengan paradigma yang berterima saat itu. Fenomena-fenomena seperti itu disebut sebagai anomali. Jika anomali ini kian menumpuk banyak dan kualitasnya semakin meninggi, maka akan muncul krisis keilmuan. Dalam krisis inilah, paradigma yang saat itu berterima kini mulai dipertanyakan. Pada tahap ini ilmuwan sudah keluar dari masa sains normal. Untuk mengatasi krisis itu, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma baru (tandingan) yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Peran data anomali
Data anomali memiliki peran besar untuk melahirkan sebuah penemuan baru dalam sebuah kegiatan ilmiah. Kuhn membagi kegiatan ilmiah ini menjadi 2 bagian yaitu pemecahan teka-teki (puzzle solving) dan penemuan paradigma baru.
Pada kegiatan puzzle solving, para ilmuwan melakukan percobaan dan mengadakan observasi yang tujuannya untuk sekedar memecahkan teka-teki atas fenomena yang ada. Kegiatan ilmiah yang dilakukan bukan untuk mencari kebenaran. Jika paradigma yang digunakan tidak dapat dipakai untuk memecahkan teka-teki yang dihadapi atau justru mengakibatkan konflik (pertentangan), maka satu-satunya jalan keluar adalah paradigma baru harus diciptakan. Untuk itu, kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan pada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan paradigma baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Contoh: perkembangan teori cahaya
Jejak kajian tentang cahaya secara mendalam bisa dilacak sejak peradaban Yunani kuno. Ilmuwan kunci dalam kajian awal cahaya ialah Euclid yang amat masyhur dengan pendapatnya, manusia dapat melihat karena mata mengirimkan cahaya kepada benda. Pendapat Euclid bertahan cukup lama sampai kemudian muncul Alhazen yang bernama asli Ibnu al-Haitham (965-1038). Pendapat Euclid ini menemukan anomalinya ketika manusia tidak dapat melihat dalam tempat-tempat yang gelap. Al Hazen berhasil membuktikan kekeliruan pendapat Euclid. Menurutnya, yang benar adalah justru sebaliknya. Manusia dapat melihat karena ada cahaya dari benda yang sampai ke mata.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa fisikawan tertarik untuk mengetahui cepat rambat cahaya ini. Fisikawan pertama yang dianggap berhasil melakukan pengukuran terhadap cepat rambat cahaya ialah Ole Roemer (1644 -1710) meskipun hasilnya tidak setepat hasil pengukuran sekarang. Menurut pengukuran Roemer pada tahun 1675, cahaya mempunyai laju sebesar 200 ribu km per detik. Fisikawan sebelumnya, Galileo Galilei, hanya menyebutkan secara kualitatif bahwa cahaya mempunyai kecepatan yang luar biasa.
Perkembangan berikutnya tentang kajian cahaya ditengarai dengan terbitnya teori korpuskular cahaya yang diusulkan oleh "begawanân" fisika klasik Isaac Newton (1642-1727). Dalam teori ini, Newton mengganggap cahaya sebagai aliran partikel (butir-butir cahaya) yang menyebabkan timbulnya gangguan pada eter di dalam ruang. Eter merupakan zat hipotetis (artinya masih perlu diuji) yang dipercaya mengisi seluruh ruang jagad raya. Teori korpuskular cahaya dipercaya oleh fisikawan-fisikawan berikutnya sampai penghujung abad ke-18.
Pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1801, Thomas Young (1773-1829) menemukan adanya peristiwa interferensi pada cahaya. Peristiwa ini tidak bisa dijelaskan dengan teori korpuskular cahaya Newton. Akhirnya paradigma baru digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Peristiwa ini merupakan pertanda bahwa teori gelombang diperlukan untuk menjelaskan hakikat cahaya. Usulan Young diperkuat oleh James Clerk Maxwell (1831-1879) yang menyatakan bahwa cahaya merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik. Saat itu, Maxwell masih yakin bahwa gelombang elektromagnetik membutuhkan medium khusus untuk dapat merambat dan ia menamakan medium tersebut sebagai eter bercahaya.
Sayang sekali, keyakinan Maxwell bahwa gelombang elektromagnetik memerlukan medium eter dalam perambatannya dipatahkan oleh fisikawan Michelson dan Morley melalui sebuah percobaan pada tahun 1887. Hasil percobaan Michelson-Morley menegaskan bahwa eter sesungguhnya tidak ada. Sehingga cahaya (sebagai salah satu gelombang elektromagnetik) tidak memerlukan medium untuk merambat.
Upaya penyingkapan rahasia cahaya terus berkembang. Pada masa-masa sekitar 1900-an fenomena cahaya megalami krisis lagi ketika para ilmuwan menemukan gejala efek fotolistrik yang tidak bisa dijelaskan dengan paradigma yang dipakai saat itu, yaitu teori gelombang. Pada tahun 1905 Einstein (1879-1955) menunjukkan bahwa efek fotolistrik hanya dapat dijelaskan dengan menganggap bahwa cahaya terdiri dari aliran diskrit (tidak kontinyu) foton energi elektromagnetik. Anomali cahaya dalam efek fotolistrik ternyata bisa dijelaskan ketika paradigma yang digunakan bukan teori gelombang melainkan teori korpusular cahaya lagi.
Catatan akhir
Karya Kuhn ini berbicara bagaimana ilmu bekerja dalam sebuah peradaban, yakni peradaban Barat. Dengan meminjam pemikiran Kuhn ini, maka dengan menggunakan paradigma yang berbeda, peradaban-peradaban yang lain tentunya dapat menghasilkan praktik-praktik dan jenis ilmu pengetahuan yang sama sekali berbeda dengan peradaban Barat.
Sardar (2002) menyatakan bahwa Hossein Nasr dalam bukunya The Encounter of Man and Nature (1978) berpendapat bahwa apa yang menyebabkan ilmu sekarang (ilmu Barat) khas Barat adalah konsepsinya (paradigma) tentang alam. Beberapa kebudayaan lain merasa asing dengan paradigma Barat tentang alam. Barat menganggap bahwa keberadaan alam hanya demi kemaslahatan manusia dan alam harus diburu, diikat dan "disiksa" agar kita dapat mengungkap rahasianya. Ide ini memang penuh semangat, tapi sekaligus juga sangat kejam. Ide ini berasal dari Francis Bacon ketika ia merumuskan metode penelitian empiris yang kelak mengilhami Galieo dan Newton. Capra (2004) berpendapat bahwa Bacon terinspirasi oleh perlakuan pengadilan terhadap para tukang sihir pada masa itu. Bacon merupakan jaksa penuntut umum pada masa Raja Charles I.
Ada satu contoh kuat yang bisa mempertegas hal ini sebagaimana telah dikaji oleh Pamela Asquith (Amir: 2003). Dalam kajiannya, Asquith mengamati primatologis Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologis Jepang ketika masing-masing meneliti perilaku primata. Adanya pandangan Kristen yang percaya bahwa hanya manusia yang mempunyai jiwa telah "menutup celah" bagi primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang begitu majemuk. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang yang meyakini bahwa binatang juga memiliki jiwa seperti manusia telah "menuntun" para primatologis Jepang untuk tertarik dan memperhatikan motivasi maupun personalitas primata. Disini kita melihat bahwa ada perbedaan yang cukup serius antara primatologis Barat dan primatologis Jepang, padahal objek yang diamati sama yakni binatang primata. Primatologis Barat cenderung pada aspek fisiologis sementara primatologis Jepang cenderung pada aspek sosiologis. Ternyata, objek kajian yang sama dan sistem kepercayaan yang berbeda akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda. Sistem kepercayaan ini merupakan paaradigma dalam lanskap Kuhnian.
Hal ini mengingatkan pada Henri Bergson. Ia menegaskan bahwa dalam memperoleh ide baru, tidak ada metode logis atau hukum yang menghasilkan suatu ide atau gagasan baru. Setiap penemuan mengandung "unsur irrasional" atau "intuisi kreatif" (Lubis, 2003).
Boris Hessen pernah bikin gempar pada konferensi tentang sejarah ilmu 1931 di London. Ia menulis makalah "Akar-akar Sosial dan Ekonomi dalam Principia Newton". Menurut Hessen, karya besar Newton bukanlah produk dari kejeniusan ilmiah atau hasil dari logika internal ilmu, melainkan konsekuensi dari kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi pada abad ke-17 di Inggris (Sardar, 2002).
Salah satu kesimpulan yang mencengangkan dari pemikiran Kuhn ialah bahwa ilmuwan bukanlah petualang yang berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Para ilmuwan hanyalah pemecah teka-teki (puzzle solver).
Namun, term ilmuwan di sini diperdebatkan oleh Zukav (2003). Term yang tepat untuk tipikal ilmuwan pemecah teka-teki adalah "teknisi". Ia menyebut teknisi sebagai orang yang sangat terlatih mengaplikasikan teknik dan prinsip-prinsip yangs ebelumnya sudah diketahui. Artinya, ilmuwan-ilmuwan yang bekerja pada masa sains normal, bagi Zukav, merupakan teknisi. Sedangkan term ilmuwan yang tepat menurutnya, ialah orang yang kerjanya mencari tahu hakikat (the true nature) realitas fisika. Oarang macam ini berurusan dengan segala sesuatu yang belum diketahui. Artinya, ilmuwan yang bekerja pada masa krisis dan akhirnya meletupkan revolusi ilmiah-lah yang merupakan ilmuwan sejati menurut Zukav.
Kepustakaan
Capra, Fritjof, 2004, Titik Balik Peradaban: sains, masyarakat dan kebangkitan kebudayaan , Cet.6, Bentang, Yogyakarta
Kuhn, Thomas S., 2002, The Structure of Scienti c Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung
Lubis, Akhyar Yusuf, 2003, Paul Feyerabend , Cet.1, Teraju, Jakarta Selatan
Resmiyanto, Rachmad, 2008, Telaah Laboratorium Maya Berdasarkan Model Sains Kuhnian dan Implikasinya dalam Pembelajaran Fisika, disajikan dalam Seminar Nasional Kecenderungan Baru Fisika dan Pendidikannya Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang
Sardar, Ziauddin, 2002, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu , Cet.1, Jendela,
Yogyakarta
Zukav, Gary, 2003, Makna Fisika Baru dalam Kehidupan, Cet.1, Kreasi Wacana, Yogyakarta
Pogung Lor, 10 Maret 2010
No comments:
Post a Comment