Oleh Rachmad Resmiyanto
PADA SEBUAH PAGI, ketika kampus 3 Warungboto masih lengang, seorang mahasiswi berbaju krem dengan kerudung sewarna, datang ke salah satu ruangan di sayap utara. Ruangan itu adalah yang paling ujung, arah barat. Ia datang dengan langkah dalam gegas.
Ia menulis di secarik kertas kecil, berukuran setengah folio, tanpa mengambil kursi untuk duduk. Ia masih setengah berdiri. Ia menulis sambil membungkukkan beberapa ruas tulang belakangnya. Nafasnya masih tersengal-sengal.
Selesai menulis, ia tersenyum kecil dan menyerahkan tulisan itu. Saya baca namanya perlahan. Saya lihat program studinya. Juga mata kuliahnya. Saya pegang secarik kertas itu, blangko pelanggaran presensi.
Pada tatakan presensi kehadiran, saya bolak-balik berkas, mencari presensi matakuliah itu. Ketemu juga namanya. Ada beberapa tanda silang besar dalam deret seusai namanya tertera. Saya hitung jumlah silang besar itu. Saya gelengkan kepala, “Maaf mbak, Anda tetap tidak bisa ikut ujian”. Dan mahasiswi itu pergi menjauh dengan semburat wajah yang penuh kecewa.
SUATU SIANG, seorang mahasiswa datang dengan keluhan yang sama. Ia bertanya apakah masih boleh ikut ujian. Kami berdua menghitung tanda silang dalam bukti kehadirannya di kelas. Jumlahnya ada 4. Jika dosen masuk kuliah menggenapi 14 kali, maka ia akan mendapat “pengampunan” sebab persentasenya 71%. Angka ini masih dijinkan buat turut ujian. Sayang, semester itu rupanya ia tak mujur. Dosennya masuk kelas sebanyak 12 kali saja. Ia tak boleh turut ujian sebab hanya 66% saja kehadirannya.
Selama 2 pekan piket, saya bertemu banyak mahasiswa. Banyak mahasiswa yang tak masuk 4 kali. Mereka semua berhak turut ujian sebab dosen masuk kelas 14 kali, jadi mereka memenuhi 71%, angka yang masih diijinkan.
Ada mahasiswa yang ternyata bolosnya di awal-awal perkuliahan, sebelum ujian tengah semester dilangsungkan. Namun karena jumlahnya lebih dari 4, ia tak berhak untuk turut ujian akhir semester.
Selama 2 pekan itu, masa-masa ujian akhir semester ganjil 2010/2011, saya berurusan dengan macam-macam kasus begitu. Saya menemukan ada yang rancu dalam logika kebijakan ini, angka 75% kehadiran buat turut serta dalam ujian akhir semester. Kebijakan ini adalah kebijakan akademik, menyangkut nasib dan hajat akademik mahasiswa.
Saya harap Anda sabar membacanya satu demi satu.
Satu, jika seorang mahasiswa tak masuk kuliah 5 kali, jelas ujian akhir semester menjadi terlarang baginya. Namun, jika angka 5 kali itu ia lakukan di awal-awal perkuliahan, kenapa pula ia berhak ikut ujian tengah semester? Saya tak habis pikir bagaimana hubungan akademik yang sejati antara ujian akhir dan bolosnya ia di awal-awal perkuliahan.
Dua, saya menangkap tidak ada ketersambungan ide atau rasionalisasi antara 75% kehadiran dengan kemampuan akademik mahasiswa. Kalau memang diasumsikan bahwa dengan duduk manis di kelas minimal 75% dari jumlah kuliah bersama dosen akan sebanding dengan kemampuannya mengerjakan ujian, ini asumsi yang patut diuji secara akademik. Lagi pula, kenapa hanya ujian akhir semester yang dilekatkan dalam angka 75% itu? Kenapa ujian tengah semester diperlakukan berbeda?
Tiga, angka 75% sebagai syarat buat turut ujian ternyata merupakan argumen yang patah sebelum ia sempat keluar. Dalam terminologi logika, ini argumen yang contradictio in terminis. Pasalnya, persentase kehadiran mahasiswa ternyata juga menjadi anasir dalam komponen penilaian. Buat apa dibikin syarat begitu kalau toh ia juga menjadi komponen penilaian?
Empat, angka 75%, karena ia berbentuk persentase, maka sejatinya ia angka yang bergerak. Bilangan 75% bilangan yang tidak bisa berdiri sendiri. Ini berbeda jika syarat tersebut merupakan sebuah bilangan mandiri, misalnya, jumlah ketidakhadiran mahasiswa yang diijinkan hanyalah sebanyak 3 kali, lebih dari angka itu, mahasiswa dilarang turut ujian. Angka ini, 3 kali, jelas merupakan angka yang tetap. Jadi tak peduli berapapun dosen masuk kuliah, jumlah bolos yang diijinkan tetap 3. Ini berbeda dengan angka 75% yang akan terus bergerak sesuai jumlah kuliah di kelas. Bisa 3 kali bolos, 4 kali bolos, 5 kali bolos, tergantung jumlah kuliah di kelas.
Lima, saya dengar kabar mahasiswa yang tak ikut ujian akhir juga tak berhak dapat nilai akhir. Ini adalah ketidakadilan akademik. Dalam komponen penilaian, ujian akhir dapat saja hanya punya porsi 40%. Artinya, mahasiswa yang tak turut ujian akhir mungkin saja sudah mengumpulkan nilai sebanyak 60, lalu mengapa nilai sebanyak 60 ini dibuang begitu saja?
Enam, ada kabar lagi, mahasiswa yang tak turut ujian akhir ternyata juga tak berhak ikut ujian ulang. Saya rasa kebijakan ini tak punya basis logika yang adil. Mahasiswa yang tak turut ujian akhir, berarapun nilainya, ia pasti memiliki nilai itu, kecuali mahasiswa itu tak ikut ujian tengah semester, tak mengumpulkan tugas dan juga tak hadir sama sekali. Jadi selama mahasiswa relatif aktif, berapapun nilainya, ia pasti sudah punya tabungan nilai. Demikianlah, maka ia juga berhak ikut ujian akhir.
Parahnya, ujian ulang ternyata tidak bermakna ujian yang diulang, tetapi lebih luas dari itu. Ujian ulang ternyata menghilangkan seluruh nilai yang selama ini dikumpulkan mahasiswa kemudian diganti dengan cukup satu nilai ujian ulang.
Jadi, bagi mahasiswa yang nilainya B dengan penilaian reguler, maka dalam nilainya terkandung ujian tengah semester, persentase kehadirannya, nilai tugas-tugasnya dan juga nilai kuis atau bahkan mungkin nilai sikap dan keaktifannya di kelas. Tapi mahasiswa yang nilainya B dengan penilaian ujian ulang, makanya nilainya hanyalah nilai yang tak bermartabat sebab ia hanya nilai ujian ulang an sich. Dalam cara berpikir yang demikian, maka istilah “ujian ulang” sungguh tidak tepat. Ujian itu barangkali lebih tepat dinamai sebagai “ujian pengganti”, sebab memang ia menggantikan seluruh aktivitas akademik selama satu semester. Lalu, dimanakah letak kesakralan kegiatan kuliah selama satu semester?
Saya rasa, aktivitas ujian ulang ini perlu ditinjau secara jernih. Bagaimana mungkin 2 perkara yang bobotnya tak sama kemudian kita anggap sama begitu saja. Saya khawatir kita semua berkubang “riba” dalam kegiatan akademik kita.
Saya sempat terbersit, kenapa ujian ulang bukan mengulang nilai-nilai ujian mahasiswa yang jelek saja, misalnya nilai ujian tengah semester atau ujian akhir semester saja. Nilai ujian ulang itu kemudian menjadi komponen dalam penilaian yang baru.
Bagi saya angka 75 % bukanlah keramat. Ia tidak kebal kritik. Namun, saya juga menyadari, laiknya kebijakan, maka angka itu adalah pilihan. Angka manapun bisa dipilih. Aturan bagaimanapun bisa dibikin. Yang penting bagi saya, aturan apapun itu harus taat logika, menunjung tinggi keadilan dan tetap setia pada martabat keilmuan.
Warungboto, 23 Rabiulawwal 1432/ 26.02.2011
No comments:
Post a Comment