Wednesday, March 18, 2009

Ada Totto-chan di Budi Mulia Dua

Rachmad Resmiyanto


BERSEKOLAH di SMP-SMA Budi Mulia Dua sangat mengasyikkan. Sekolah ini berbeda dengan sekolah lainnya. Anak-anak semuanya terlihat gembira. Selama di sekolah, mereka tidak menunjukkan wajah yang murung, penuh beban pelajaran dan be-te. Sekolah ini nampak selalu ramai dan hidup. Sepanjang hari, di segala tempat di sekolah ini, selalu riuh dengan murid dan guru. Pelajaran berlangsung di mana saja. Tidak seperti sekolah pada umumnya yang jika jam pelajaran berlangsung, sekolah nampak lengang dan senyap di mana-mana. Pelajaran di Budi Mulia Dua dilakukan di mana saja. Ada yang di perpustakaan. Ada yang di depan kelas. Ada yang di ruang multimedia. Ada guru yang menyelengarakan pelajaran di taman, kantin dan halaman. Ada juga pelajaran yang berlangsung di depan televisi, guru dan murid duduk lesehan seraya mendiskusikan yang sedang ditonton. Ke manapun Anda melangkah, Anda akan berjumpa dengan keasyikan guru dan murid yang sedang belajar.


Anthony de Mello, pengamat pendidikan dari India, mengatakan bahwa jika seluruh anak dibebaskan untuk memilih kegiatan yang disukainya, tidak akan ada anak yang mau bersekolah. Tidak ada yang paling dibenci oleh anak-anak selain sekolah formal, dengan segala atribut kerapian dan pekerjaan rumahnya. Kebanyakan sekolah memang berwajah ini. Tapi, sekolah Budi Mulia Dua menunjukkan wajah yang lain.

Sekolah, lembaga yang bermaksud mendidik anak agar pintar dan cakap dalam hidup justru telah menjadi musuh bagi anak sendiri. Anak tidak merasa gembira tatkala mereka ke sekolah dan sedang di sekolah. Di Budi Mulia Dua, anak-anak tidak merasakan hal ini. Mereka nampak asyik, ceria dan bersemangat. Setiap berganti pelajaran, seolah mereka sedang menuju permainan yang baru. Sekolah di Budi Mulia Dua selalu ceria. Suasananya seperti sekolah Tomoe Gakuen di Jepang.

Di Tomoe Gakuen, para murid belajar di gerbong kereta yang disulap menjadi ruang kelas. Selama pelajaran, mereka bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong. Para murid seolah sedang melakukan lawatan perjalanan. Mengasyikkan sekali.

Murid-murid Tomoe Gakuen juga boleh mengubah urutan pelajaran menurut keinginan mereka. Pada hari yang sama, setiap anak bisa belajar berbeda. Hari itu, ada yang memulainya dengan seni musik. Ada yang mendahulukan fisika. Sementara yang lain mengawalinya dengan belajar bahasa. Jadwal pelajaran bisa dibolak-balik sesuka mereka.

belum selesai...

4 comments:

  1. iya, indonesia belum sepenuhnya memiliki sistem pendidikan yang humanis. murid lebih sering diposisikan seperti mesin-mesin robotik (mekanik) ketimbang makhluk yang seutuhnya dinamis dan kreatif.
    Saya tunggu lanjutan tulisan anda sebagai pendidik...

    ReplyDelete
  2. Komentar Mbak Dinda menambah semangat baru buat saya. Acapkali, saya merasa prihatin sendiri, banyak guru dan dosen yang menjalani profesinya hanya sekedar "bekerja". Saya sadar diri, saya hanyalah guru kecil. Bagi saya, menjadi guru berarti memutuskan diri untuk menjadi orang yang bukan hanya melakukan alih pengetahuan melainkan juga menjadi mentor spiritual bagi murid-muridnya. Ini tugas berat.

    Saya jadi teringat perkataan John Hannah, bahwa pendidikan merupakan pertemuan antara pikiran yang telah berkembang dan pikiran yang sedang mekar. John Hannah menjadi Rektor Universitas Negara-bagian Michigan selama 20 tahunan. Ia diangap rektor yang gemilang. Di sana jabatan rektor tidak dibatasi. Sepertinya mereka punya prinsip, bahwa siapapun dapat menjadi pemimpin asalkan mendapat persetujuan dari yang dipimpin.

    ReplyDelete
  3. "Ilmu itu halus sekali, selain itu mudah dan sederhana seperti anak kecil" (E.F. Schumacher)- seperti yang dituturkan dalam bukunya Small is Beautiful.

    Anda juga sepakat kan?

    ReplyDelete
  4. Saya sangat menunggu kelanjutan tulisan ini, kira-kira muncul kapan nie bung...?

    ReplyDelete