Wednesday, March 18, 2009

Buku Mahasiswa dan Kepemimpinan

Mahasiswa dan Kepemimpinan
Kumpulan Naskah Annual Essay Competition Terbaik 2004, Due-Like UGM
Rachmad Resmiyanto, Mahasiswa yang Mengebiri Kampus



Mahasiswa yang Mengebiri Kampus

Rachmad Resmiyanto

Saya tidak pernah risau terhadap krisis moneter yang melanda Indonesia sejak 1997 lalu. Meskipun saya tahu krisis itu sampai hari ini belum usai dan bahkan berpengaruh buruk terhadap hampir semua bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial, budaya pendidikan, bahkan politik. Krisis seperti yang dihadapi Indonesia sangat mungkin dialami oleh berbagai bangsa di dunia. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu saya risaukan jika bangsa ini sampai sekarang masih dibelit krisis.

Di tengah krisis seperti ini, saya sadar bahwa kita sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit. Sayangnya, boleh dikata sejak krisis ini dimulai, belum muncul seorang atau sekelompok orang yang mampu tampil memimpin bangsa Indonesia keluar dari belitan krisis. Banyak kaum tua dan setengah baya yang mengaku diri sebagai pemimpin politik ternyata hanya gerombolan “pedagang sapi” yang kian sulit dipercaya. Dalam keadaan seperti ini, kampus yang merupakan kawah candradimuka bagi bertumbuhkembangnya bakat kepemimpinan justru makin pelit melahirkan pemimpin. Perkara terakhir inilah yang saya risaukan. Saya miris melihat kenyataan bahwa ketika kita dibelit krisis, kita justru mengalami kelangkaan pemimpin. Bagi saya, krisis kepemimpinan adalah isyarat kuat kematian sebuah bangsa.

Siapapun tidak bisa membantah bahwa kampus dengan mahasiswanya merupakan faktor amat penting yang menentukan hampir setiap pertumbuhan, perkembangan, penyurutan, serta perubahan kehidupan sebuah negara. Titik-titik bangkit sejarah negara Indonesia selalu digoreskan pertama kali oleh mahasiswa, antara lain sebutlah peristiwa tahun 1908, 1928, 1945, 1965, 1978 dan 1998. Semuanya merupakan bagian dari seri kontribusi mahasiswa terhadap Indonesia. Bagaimanapun, kampus dan mahasiswanya merupakan satu kelompok yang dalam berbagai fragmen sejarah selalu mengambil peran penting dalam perubahan.

Namun, kenapa kita tetap mengalami krisis kepemimpinan? Padahal, kita semua tahu mahasiswa merupakan sosok yang sarat idealisme, berpihak pada satu hal yang diyakini sebagai kebenaran, dan rela berkorban demi memperjuangkan keyakinannya menuju perubahan masyarakat yang dicita-citakannya. Dalam struktur sosial kemasyarakatan pun, mahasiswa dan kampus adalah kesatuan sistem yang mempunyai peran penting dalam perubahan sosial dan perikepemimpinan di tengah masyarakat. Kampus dan mahasiswa seolah telah menjadi ikon perubahan dan kepemimpinan. Namun, kenapa sekarang kampus semakin pelit melahirkan pemimpin?

Tentu saja selalu ada banyak jawaban atas sebuah pertanyaan. Dengan kata lain, ada banyak alasan yang bisa menerangkan kenapa kampus semakin pelit melahirkan pemimpin.

Sejak diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus), telah terjadi pengebirian dan pembunuhan bakat kepemimpinan mahasiswa, sebagai akibatnya, kampus hanya melahirkan manusia-manusai mesin yang hanya patuh pada kemauan pasar. Mahasiswa tidak memiliki investasi pengalaman berpolitik dan manajemen organisasi. Akibatnya, bakat kepemimpinan yang ada menjadi terpendam selamanya.

Kita tahu bahwa kehidupan pascakampus mengharuskan mahasiswa berpindah ke piramida sosial masyarakat dan pada saat itulah mahasiswa menjadi bagian integral dari masyarakat. Kita bisa menduga apa yang akan terkadi jika orang yang sebelumnya tidak pernah mengasah kepemimpinannya kemudian tiba-tiba ia harus memimpin masyarakat. Sama saja kita hanya memindah ruang krisis kepemimpinan yang ada pada mahasiswa ke tengah masyarakat, sebab embrio lahirnya seorang pemimin berasal dari dai kalangan mahasiswa.


Akan tetapi, agaknya situasi sekarang sudah berubah. Pemerintah tampaknya semakin menyadari bahwa kampus memang kawah yang kelak melahirkan pemimpin bangsa. Itu pula sebabnya pemerintah pun tidak segan-segan memberi ruang kebebasan berorganisasi kepada mahasiswa. Muncullah mahasiswa-mahasiswa yang “gila” dalam berorganisasi di tengah kerumunan mahasiswa yang tetap tidak acuh terhadap organaisasi.

Pada situasi seperti ini, mahasiswa dapat dipetakan dalam dua kategori: mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis. Mahasiswa aktivis merupakan mahasiswa yang “gila” berorganisasi. Mereka umumnya dicirikan dengan indeks prestasi yang rendah, jarang ke kampus, tetapi sering terlihat dalam banyak kegiatan mahasiswa. Bagi mereka, aktif dalam organisasi adalah tugas utama dan kuliah hanyalah aktivis sampingan. Sementara itu, mahasiswa non aktivis justru sebaliknya. Mereka menganggap belajarlah yang utama dan ikut aktif dalam organisasi hanyalah kegiatan sambilan.

Dua kelompok mahasiswa ini memang cukup sulit untuk didamaikan. Mahasiswa aktivis menganggap mereka yang tidak terlibat aktif dalam organisasi dan hanya sibuk berkutat dengan buku teks dan diktat merupakan kelompok yang tidak peduli dengan nasib bangsa dan hanya memikirkan nasibnya sendiri tanpa mau tahu bagaimana keadaan masyarakat. Mereka yang hanya sibuk kuliah diidentikkan dengan mahasiswa tanpa idealisme. Tuduhan balik dilemparkan kepada mahasiswa aktivis bahwa mereka adalah kelompok yang mengejar kekuasaan atas nama idealisme dan kepedulian terhadap bangsa. Bahkan kelompok ini dicap sebagai anak dari bapak-bapak kita yang “pedagang sapi”. Tentu saja kita tahu bahwa keturunan “pedagang sapi” haruslah lekat dengan sifat piawai ketika “negoisasi harga” dan tentu saja ia harus cerdas dalam memilih sapi untuk dijual.

Bagaimana tidak? Mahasiswa aktivis ini senantiasa berteriak atas nama mahasiswa yang lain tentang mahalnya biaya pendidikan dengan sederet analisis teori-teori sosial. Pada saat yang sama, prestasi akademik mereka anjlok, sedangkan mahasiswa-mahasiswa yang diwakilinya justru prestasinya melonjak, sebab analisisnya cukup pendek dan sederhana: jika biaya naik maka harus dicari kompensasi dari kampus untuk saya. Itulah sebabnya , ketika teman-teman sebaya sudah memasuki kehidupan pascakampus, mahasiswa aktivis umumnya baru giat-giatnya kuliah.

Gila organisasi tidak seharusnya membuat prestasi menjadi anjlok. Jika mahasiswa aktivis mengklaim bahwa mereka adalah ketua dari sekumpulan mahasiswa, bagaimana mereka bisa mnjadi teladan bagi mahasiswa yang dipimpin jika dalam prestasi kuliah mahasiswa aktivis cukup buruk. Idealisme tidak bisa digunakan untuk melakukan justifikasi atas buruknya prestasi kuliah. Sebab bukankah “prestasi kuliah” yang justru merupakan cita-cita ideal bagi mahasiswa? Ilustrasi tersebut sekadar ingin menggambarkan bagaimana kita menyaksikan kuncupnya tunas-tunas “pedagang sapi” itu.

Tidak ada yang bisa dibanggakan jika kita bisa berceramah dengan fasih tentang bocornya penyelenggaraan negara ini, sebab pada saat yang sama tukang becak di bunderan UGM pun bisa berdiskusi dengan sejawtnya tentang korupsi yang sedemikian menggurita. Tidak ada nilai tambah saat kita mengatasnamakan teman-teman kita dan berteriak-teriak tentang kampus rakyat, sedangkan buruh pabrik pun sudah bisa juga demo untuk hal-hal yang lebih riil.

Bahkan tidak ada nilai kepahlawanan sama sekali ketika kita dengan gagah mengangkat spanduk “Anti Presiden Militer”, sementara pada saat yang sama kita melestarikan militerisme untuk menyambut adik-adik kita dalam Ospek. Dan tentu saja semua tahu bahwa yang menggagas, melaksanakan dan terus melestarikan Ospek adalah mahasiswa aktivis.

Padahal, Ospek yang lebih familiar dengan cara perploncoan tidak diragukan lagi merupakan salah satu tindakan bully, dan adik-adik kita yang menjadi korban bully suatu saat akan menjadi bullier. Jika ini ditarik dalam konteks negara kita yang korup, maka korban korupsi cenderung akan menjadi koruptor juga. Dari sini sebenarnya perploncoan merupakan merupakan tolok ukur kecil terhadap kemampuan mahasiswa aktivis dalam menyetop rantai kebobrokan itu. Sebab, jika kebobrokan tidak disetop akan melahirkan kebobrokan lebih lanjut.

Tiap tahun perploncoan selalu dibahas, dikritik, dikecam, tapi, tahun-tahun berikutnya masih terulang lagi. Persis seperti korupsi dan pungli yang setiap hari menjadi berita utama di koran dan televisi, bahkan menjadi rayuan saat bapak-bapak kita sedang “negoisasi harga” dari “sapi” yang akan dijual, selalu dikritik dan dikecam, tetapi peristiwa itu selalu terulang.

Ini baru upaya pelestarian Ospek. Belum kisah tentang rebutan jabatan saat pemilihan raya, pesta demokrasinya mahasiswa di kampus. Di sini mahasiswa aktivis mengemis-ngemis pada teman-temannya (yang tentu saja mahasiswa non aktivis) untk bersimpati, memberikan dukungan, dan puncaknya memilih dia saat pemilihan raya nanti. Dan setelah terpilih, teman-teman yang telah memilihnya akan dicemooh sebagai mahasiswa yang tidak peduli nasib kampus ketika tidak ikut berdemo tentang biaya pendidikan. Teman-teman itu dicibir sebagai mahasiswa tanpa idealisme ketika tidak menggubris ajakan demo apapun temanya.

Mahasiswa aktivis kita memang seperti singa kampus. Ia kelihatan garang dan akan menerkam apapun dan siapa saja bila dianggap tidak sesuai dengan idealisme yang ada di kepalanya. Namun, ketika mahasiswa aktivis ini terjun ke masyarakat yang sebenarnya, saat Kuliah Kerja Nyata misalnya, ia menjadi singa yang telah dicabut taringnya. Yang sebelumnya selalu berteriak “perubahan”, ia tetap tidak bisa mengubah masyarakat sampai ia kembali ke kampus. Yang sebelumnya meneriakkan “kampus rakyat”, ia tetap tidak bisa menaikkan derajat kesejahteraan rakyat desa. Bahkan yang sebelumnya sanggup memenangkan simpati sekian ribu mahasiswa, ia tetap tidak sanggup untuk hanya sekedar meyakinkan masyarakat desa bahwa mandi dan buang hajat di kali itu tidak baik untuk kesehatan.



Membangun kembali negara tercinta menjadi kuat dan eksis di antara negara-negara di dunia, diperlukan pemimpin yang kuat dan kepemimpinan yang tangguh. Ini diperlukan guna menghadapi tantangan global yang mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Saat ini, betapa kita sadari bersama sulitnya menemukan sosok pemimpin yang tanggh dan ideal. Sosok pemimpin demikian adalah mereka yang memiliki integritas moral dan legitimasi politik, cakap, powerfull, dan kecil resistensinya di masyarakat.

Namun kehidupan mahasiswa dengan kampusnya yang merupakan potret bangsa Indonesia masa depan telah rusak sebelum dicetak. Usia mahasiswa adalah usia saat manusia mencari bentuk dan identitas bagi corak kehidupan yang akan dijalaninya nanti. Dalam hal ini, saya tetap saja risau karena setiap hari, bulan dan tahun saya terus saja menyaksikan hal itu. Kampus saya akan selalu tetap saja pelit untuk melahirkan pemimpin. Padahal, bangsa ini pun tahu bahwa kampus saya tidak mandul dan ia adalah lahan subur bagi bertumbuhkembangnya bakat kepemimpinan. Namun, kamilah yang telah megebiri diri kami sehingga seolah kampus kami pelit melahirkan pemimpin bagi Indonesia.

Dimuat di Mahasiswa dan Kepemimpinan, Kumpulan Naskah Annual Essay Competition Tebaik 2004, hal. 1-6,
Editor Aprinus Salam dan Rio Rini Dyah M.
Yogyakarta: Peningkatan Pertumbuhan Kepemimpinan Berkualitas (PPKB) UGM 2006
ISBN: 979-25-86-2-4

1 comment: