Rachmad Resmiyanto
MBAH MARIDJAN adalah seorang kakek yang fenomenal. Simak saja berita-berita beberapa waktu yang silam tatkala Gunung Merapi di Yogyakarta sedikit sibuk. Semula ia adalah juru kunci Merapi yang hanya dikenal para pendaki. Tiba-tiba, ia adalah Laki-laki pemberani di Indonesia (versi Sido Muncul). Ia menjadi bintang gemintang dan milik banyak orang, tidak lagi terbatas bagi warga Kinahrejo. Popularitasnya mampu menyihir jutaan orang dan aksinya mampu menyita perhatian dunia. Bahkan, Mbah Maridjan sempat ditawari untuk nonton langsung Piala Dunia di Jerman. Sepanjang sejarah Piala Dunia, mungkin ini merupakan satu-satunya tawaran yang diberikan kepada orang Jawa, Yogya, tur ndesa.
Tekadnya yang kuat untuk nguri-uri Merapi telah mengalahkan segala-galanya. Bujukan dari semua orang tidak mampu menggoyahkan tekadnya, mulai dari orang nomor satu di Yogya sampai orang nomor satu di Indonesia. Bahkan, meskipun para ilmuwan vulkanologi telah menyatakan Merapi akan meletus, Mbah Maridjan tetap santai dan malah bersiteguh di Merapi. Di saat para ahli vulkanologi mengkhawatirkan letusan Merapi, Mbah Maridjan justru berani jalan-jalan sampai di Srimanganti. Dan yang lebih mengejutkan, Mbah Maridjan malah memberi kabar: ”Merapi hanya sekedar buang sampah”. Sepertinya, tidak ada sedikitpun aktivitas Merapi yang perlu dirisaukan. Inilah sikap Mbah Maridjan, seorang juru kunci gunung Merapi yang begitu jantan.
Sebagai seorang sarjana sains, saya begitu tercengang dengan sikap Mbah Maridjan yang berani “membantah” para ahli vulkanologi. Bagi saya ini adalah fenomena yang luar biasa dalam sejarah sains di nusantara. Dalam cara pandang sains yang selama ini saya pelajari, tentu saja sikap Mbah Maridjan akan dianggap sebagai sikap yang tidak ilmiah. Namun, benarkah demikian?
Bagi saya pribadi, terlalu sangat dini untuk mengatakan bahwa sikap dan pandangan Mbah Maridjan terhadap aktivitas Merapi adalah sikap yang tidak ilmiah. Kenapa?
Dalam kajian ilmu pengetahuan, dikenal adanya tiga landasan yang menjadi pondasi sebuah ilmu. Ketiga landasan itu adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi merupakan landasan yang mempersoalkan tentang hakikat objek kajian. Epistemologi menyoal tentang bagaimana cara yang benar untuk mendapatkan pengetahuan dan aksiologi berbicara tentang tujuan dan kegunaan ilmu. Dengan demikian, setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.
Dari sisi ontologi, ada 2 paradigma yang menjadi basis bagi sains untuk mengembangkan dirinya, yaitu paradigma naturalisme dan supernaturalisme (Suriasumantri, 2005).
Sains yang kita kenal sekarang ini merupakan sains yang menganut paradigma naturalisme. Dalam paham ini, saintis berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri. Naturalisme adalah paradigma yang tidak percaya terhadap roh-roh dalam setiap benda-benda. Oleh karena itu paradigma naturalisme merupakan cikal bakal paham materialisme. Terkait dengan aktivitas Merapi, maka bagi saintis aktivitas Merapi hanyalah sekedar aktivitas kimia-fisika semata. Tidak ada kekuatan lain selain dari sekedar aktivitas tersebut. Merapi hanyalah setumpuk material vulkanik yang di dalamnya ada rongga yang terhubung dengan pusat magma. Ketika rongga ini tersumbat material di atasnya, maka dengan sendirinya terhimpun kekuatan yang suatu saat bisa menjebol saluran yang tersumbat tersebut. Jika kekuatan tersebut sangat besar, maka inilah yang disebut letusan Merapi. Jika kekuatan tersebut tidak cukup kuat untuk menjebol, maka ini yang disebut leleran lava. Penjelasan terhadap aktivitas ini secara sederhana hanya merujuk pada proses fisika semata.
Pendapat ini tentu akan berbeda bila kita percaya terhadap paradigma supernaturalisme. Dalam paradigma ini, maka secara ontologis kita meyakini bahwa ada roh-roh yang bersifat ghaib yang terdapat di dalam benda-benda seperti batu, air, pohon dan tentu saja gunung Merapi. Paradigma ini memang hampir mendekati dengan paham animisme yang merupakan kepercayaan asli bangsa kita.
Maka, ketika Mbah Maridjan menyebut aktivitas Merapi sebagai kegiatan Keraton Merapi sedang punya gawe dan leleran lava yang terjadi merupakan kegiatan bersih-bersih di Keraton Merapi sebenarnya menunjukkan bahwa Mbah Maridjan percaya terhadap adanya roh-roh ghaib di Merapi. Dalam kepercayaan ini, Mbah Maridjan ternyata tidak sendiri. Kepercayaan ini telah menjadi semacam sistem keyakinan bagi masyarakat di sekitar Merapi. Konon, roh-roh itu mengejawantah sebagai Kiai Petruk, Kiai Sapu Jagat atau Nyai Gadhung Mlati.
Ungkapan Mbah Maridjan ini sebenarnya merupakan ungkapan yang filosofis sebab secara mendasar ungkapannya menyentuh sisi ontologis. Mbah Maridjan percaya bahwa Merapi bukanlah sekedar setumpuk material vulkanik yang mati. Merapi merupakan organisme yang hidup. Merapi juga punya jiwa sebagaimana kita bangsa manusia. Hanya saja karena keyakinan terhadap paham naturalisme sudah begitu kuat akarnya dan mendarah daging dalam setiap saintis, maka pernyataan Mbah Maridjan tidak dianggap sebagai ungkapan sains.
Sikap Mbah Maridjan ini akan semakin jelas juntrungannya ketika kita melihatnya melalui sudut pandang studi sains (science studies). Dalam kajian ini, terma yang menjadi tesis utama adalah sains merupakan produk sosial. Ini mengandung arti bahwa sains merupakan produk interaksi dan negosiasi yang terjadi dalam sebuah sistem sosial. Laiknya sebuah interaksi sosial, tentu saja interaksi ini juga selalu melibatkan unsur-unsur abstrak yang sangat mendasar dalam sistem sosial seperti nilai, cara pandang, ideologi dan kepercayaan.
Ketika pengetahuan saintis telah terbentuk, maka sebenarnya pengetahuan tersebut adalah hasil interpretasi. Secara umum, sesungguhnya pengetahuan manusia merupakan bagian dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pengamatan dan pemahaman pola-pola keteraturan alam. Karena keteraturan alam ini tidak seragam di setiap tempat, maka interpretasi saintis terhadap pola-pola tersebut juga akan berbeda sebab interpretasi tidak lain merupakan praktik budaya manusia. Dengan kata lain, sistem budaya yang berbeda pasti juga akan menghasilkan interpretasi yang berbeda! Inilah yang menjelaskan mengapa pengetahuan Mbah Maridjan dan para saintis vulkanologi menjadi berbeda, sebab nereka hidup dalam sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda.
Ada satu contoh kuat yang bisa mempertegas hal ini sebagaimana telah dikaji oleh Pamela Asquith (Amir: 2003). Dalam kajiannya, Asquith mengamati primatologis Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologis Jepang ketika masing-masing meneliti perilaku primata. Adanya pandangan Kristen yang percaya bahwa hanya manusia yang mempunyai jiwa telah “menutup celah” bagi primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang begitu majemuk. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang yang meyakini bahwa binatang juga memiliki jiwa seperti manusia telah “menuntun“ para primatologis Jepang untuk tertarik dan memperhatikan motivasi maupun personalitas primata. Disini kita melihat bahwa ada perbedaan yang cukup serius antara primatologis Barat dan primatologis Jepang, padahal objek yang diamati sama yakni binatang primata. Primatologis Barat cenderung pada aspek fisiologis sementara primatologis Jepang cenderung pada aspek sosiologis. Ternyata, objek kajian yang sama dan sistem kepercayaan yang berbeda akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda. Inilah tahapan epistemologi itu.
Pada tingkat selanjutnya, pengetahuan yang telah terbentuk ini juga akan berimplikasi pada tindak-tanduk manusia. Mbah Maridjan yang percaya bahwa Merapi juga mempunyai jiwa senantiasa tidak lelah untuk mengingatkan para penambang pasir Merapi yang menggunakan bego agar tidak serakah. Menurut Mbah Maridjan, tindakan ini akan membuat Kanjeng Sultan Merapi menjadi murka sebagaimana manusia yang akan marah terhadap segala bentuk tindakan kriminalitas. Bahkan, luncuran awan panas Merapi pun tidak boleh disebut “wedhus gembel” sebab bisa menyakiti hati Merapi, persis seperti kita yang akan sakit hati ketika dipanggil dengan nama-nama yang jelek. Berbeda dengan orang-orang yang berpandangan bahwa Merapi hanyalah setumpuk material yang mati, mereka dengan “penuh semangat” melakukan penambangan material Merapi dengan liar dan membabi-buta. Mereka menambang hasil erupsi Merapi dengan semaunya. Merak tidak sadar bahwa tindakannya dalam jangka panjang bisa merusak alam Merapi.
Seandainya saja banyak orang yang seperti Mbah Maridjan, maka niscaya kerusakan alam di nusantara tidak akan separah sekarang. Bencana banjir, tanah longsor, luberan lumpur panas, abrasi pantai maupun hilangnya beberapa pulau kecil dari peta nusantara tidak akan pernah tertulis di koran-koran. Bahkan gunung di Papua yang begitu disucikan beberapa suku asli di sana tidak akan pernah menjadi kawah menganga. Fase seperti ini merupakan fase aksiologi, sebuah fase yang bermaksud menanyakan “untuk apa pengetahuan itu?”.
Mbah Maridjan memang fenomenal. Semua orang tahu Mbah Maridjan bukan sarjana sains. Beliau hanyalah kakek desa biasa yang selalu dekat dengan “kawah Merapi” yang lekat sebagai identitas Yogya, salah satu titik keramat Yogya. Namun, menilik ungkapan Mbah Maridjan di atas, mungkin sudah saatnya bagi para sarjana sains yang dibesarkan di “kawah universitas” yang lekat dengan cara pandang Barat untuk mempertimbangkan bahwa “jangan-jangan Mbah Maridjan merupakan saintis madzhab Yogya”. Siapa sangka?
No comments:
Post a Comment