Tuesday, April 21, 2009

Catatan di Penghujung Ramadhan 2003

Aku Hanya Ingin Berkata: "Terima kasih...dan mohon maaf ..."
Rachmad Resmiyanto

KITA HIDUP HAMPIR TANPA MEMAHAMI DUNIA INI. Kita hampir tidak mengerti bagaimana mekanisme matahari yang selalu bersinar indah padahal di pusat sana terjadi letupan-letupan nuklir hidrogen yang amat mengerikan. Kita hidup hampir tanpa memahami bagaimana tumbuhan mendayagunakan tenaga foton sinar matahari untuk memasak hanya dengan mitkondria, organ super mikro yang sekarangpun masih misteri. Bahkan, mungkin ini yang paling menghenyakkan dan kita tak kunjung menyadarinya, sinar matahari yang kita terima sekarang sesungguhnya merupakan masa lalu bagi matahari. Kita hidup hampir tanpa memahami dunia ini. Kita mengerti sesuatu tanpa harus mengerti segala sesuatu. Sampai di sini dengan segera engkau mungkin akan mengambil simpulan, hidup sungguh absurd.

Aku sarankan engkau menunda dulu sejenak simpulan itu. Cobalah ‘Membaca Pikiran Tuhan’ nya Paul Davies. Di sana engkau akan menemukan rangkaian simpul yang mengejutkan kita. Alam semesta bukanlah produk sampingan dari kekuatan-kekuatan tanpa pikiran dan tujuan. Kita sungguh-sungguh berarti ada di sini.

Berartinya kita di semesta ini agaknya dipahami lain oleh Hawking dengan mengajukan sebuah model jagad raya yang ruangnya tak bertepi, yang waktunya tak berawal dan tak berakhir dan Penciptanya tak perlu berbuat apapun lagi. Dalam jagad raya seperti itu, keberadaan Pencipta sungguh sebuah ketidakberartian (baca:kemubadziran).

Dendam sejarah mungkin sedang bermain di sini. Dalam kisah penciptaan semesta, Adam Sang Manusia terusir keluar dari surga setelah mendekati pohon terlarang; dalam model kosmos mutakhir, manusia melakukan pengusiran terhadap Tuhan Sang Pencipta keluar dari semesta raya. Bahkan Tuhan sebenarnya tak pernah terusir keluar, karena ia tak pernah ada di dalam, tidak di mana pun. Tidak di sini, tidak juga di sana.

Gagasan Tuhan yang terusir itu sebenarnya menghamparkan kepada kita adanya sebuah kosmologi baru di mana manusia yang berada di pinggiran , di beri kesempatan untuk bermain ke tengah. Seolah ia hendak menegaskan bahwa manusia ditakdirkan untuk bebas dengan segenap pahit getirnya dalam ruang semesta raya yang tak pernah diintervensi oleh Tuhan.
Mungkin inilah tafsiran para penganut teologi jabariyah ketika harus membabar jagad semesta. Di situ berlaku sebuah prinsip utama; jika sebuah peristiwa bisa diterangkan tanpa intervensi Tuhan, maka memfatwakan adanya intervensi ilahi di situ adalah tindakan haram dari segi epistemologi.

Namun demikiankah yang terjadi? Tidakkah kita sadar kadang kita merasakan adanya kekuatan-kekuatan luar yang ikut mengontrol dan memaksa kita untuk sesekali berada di luar semesta kesadaran yang telah kita rancang sebelumnya? Apakah engkau berpikir bahwa yang selama ini kita lakukan dalam RDK 1424 H adalah hanya sekedar kebetulan belaka?

Cobalah renungi berapa rangkaian peristiwa yang telah ikut menjalin dan memilin tambang-tambang waktu sehingga peristiwa itu di luar semesta kehendak kita. Kita sedang bermain dalam ruang-waktu dan peristiwa itu merupakan salah satu titik koordinat yang harus dilintasi sadar atau tidak. Lintasan-lintasan itu tertata apik sehingga mewujud sebagai sebuah bangun geometri. Dari sana aku pun berkesimpulan, titik-titik yang telah kita lintasi selama RDK dan lintasan yang menjejak di belakang telah mengantarkan aku dan engkau untuk membangun rumah langit selama selang waktu itu. Bekerja bersama kalian selama rentang waktu RDK, telah membuatku berdiri di lantai rumah langit, bermain di dimensi keempat keluar dari ruang waktu tiga dimensi.

Laiknya de javu yang pernah kualami, rangkaian peristiwa-peristiwa di RDK telah mengerjapkan kesadaran ku tentang pilihan hidup. Membabar cerita dalam RDK dan mengusungnya dalam pergulatan historisku telah memberi makna dan warna pada babak kehidupanku. Sebab setiap perjumpaan sejati dengan pilihan hidup, selalu saja berarti perjumpaan dengan revolusi.

Terlepas dari kerutan dan retakan kecil dalam RDK kita, rangkaian peristiwa di sana sungguh telah membangkitkan minat dan mencerahkan, menggugahku untuk betul-betul memahami bahwa keberadaanku begitu juga engkau di alam semesta ini sungguh punya "makna" dan finalitas, bukan suatu takdir belaka, sebuah kebetulan sejarah, atau satu titik insidental dalam drama besar eksistensi kosmis. Tentu semua ini berangkat dari cakrawala kesadaran bahwa aku dan engkau merupakan bagian dari kesatuan jagad raya ini.

Tuhan itu pihak kesatu, alam dan sejarah pihak kedua, sementara aku dan engkau adalah pihak ketiga. Di antara semua makhluk Allah itu, akulah yang paling tidak penting sekurang-kurangnya aku tidak sanggup untuk membuktikan bahwa aku tergolong orang yang ahsanu taqwim.


RAMADHAN DI KAMPUS BUKAN HANYA SEKARANG, BESOK ATAU LUSA. Yang jauh lebih penting bagi kita adalah penerimaan setelah lusa dari lusa. Sebab gita sorgawi memenuhi cakrawala, memenuhi semesta. Ma lla 'ainun ro-at wa laa udzunun sam'at wa laa khothoro 'alaa qolbi basyar. Sebuah keelokan yang tak sekali pun pernah dilihat oleh mata. Senandung kemerduan yang tak pernah didengar telinga dan keapikan proses yang belum pernah dibayangkan oleh nalar manusia.

Ikhlas adalah kunci, password untuk mengarah ke sana. Password dari sebuah pintu gerbang untuk memasuki medan perjuangan agar kita pulang dengan hasil gemilang. Demikianlah peristiwa ruang sidang senin sore itu, 17 Nopember 2003, merupakan bagian dari upaya untuk menuju ke arah sana.

Bukan hanya engkau, aku pun bertanya kepada diriku sendiri:
Kenapa engkau mempertanyakan keikhlasan temanmu? Kenapa engkau justru memarahi orang yang telah membantumu? Dan kenapa engkau merasa bersih dari anasir-anasir kesalahan dan kebejatan dalam mengurus RDK? Betapa sombongnya engkau ! Allah senantiasa menghamparkan rahmat-nya kepada segala makhluk-nya, betapa pun ia adalah seorang cecunguk di mata temannya. Beliau selalu mendahulukan niat baik hamba-nya bertobat dan tak peduli berapa laksa dosa hambanya. Kekasih beliau, kanjeng nabi muhammad, selalu memajukan prasangka baik bahkan pun kepada seorang yang jelas-jelas sudah menghunuskan pedang dihadapannya. Sebegitu bebalkah engkau sehingga ketika ada sekelompok temanmu yang telah membantumu, justru saat itu engkau menawarnya. Sehitam apakah hatimu sampai engkau sudah tidak sanggup untuk memancurkan tetesan kebahagiaan. Sedangkal apakah kolam air matamu sampai engkau sudah tidak mampu untuk mengalirkannya barang setetes pun. Alangkah bodohnya engkau dan betapa dirimu telah disesaki oleh kotoran-kotoran prasangka!

Diriku berkata kepadaku :
Maafkanlah! Apa yang aku lakukan ini adalah upaya untuk bersikap habis-habisan terhadap diriku sendiri. Alam, guru agung bagi manusia, telah mengajariku bagaimana aku harus bisa bersikap kejam terhadap diriku sendiri. Bahwa seorang sufi sejati haruslah bersikap demikian dan baru sampai ditingkat itulah aku sanggup untuk menerjemahkan kehendak-nya. Sampai diterminal itu rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan pengembaraan ini bersama-nya.
Bukankah kalau engkau juga mencintai-nya maka apapun kehendak-nya engkau tidak menawar-nawar, serta tidak menghendaki kemurahan-nya hanya untuk hal-hal yang menyenanngkanmu? Aku percaya ada semacam moralitas dari setiap macam dan segala jenis maupun berbagai corak pergaulanku dengan segala makhluk-nya termasuk engkau. Di sini aku melontarkan permohonan maafku atas semua kelakuanku.

Alpha, beta, gamma. Ramadhan adalah bulan yang istimewa. Sebagai konsep waktu maka selayaknya Ramadhan tak boleh kita tinggal begitu saja. Karenanya disini aku mencoba untuk berusaha mengajakmu barang sebentar saja, menggembalakan cakrawala untuk sekedar memikirkan bagaimana mekanisme semesta ini mengatur dirinya sendiri.

Apakah selama ini cakarawala kesadaranmu sanggup seperti yang telah dicontohkan orang mesir kuno. Cobalah engkau membayangkan bahwa hanya dengan pasir, materi yang sehari-hari mereka injak-injak, ternyata mampu menggugah mereka untuk membangun sebuah konsep revolusioner yang selanjutnya akan memegang kunci perubahan yang sangat memukau. Dikatakannya bahwa apabila sejumlah pasir telah habis melewati lubang kecil dalam tabung hourglass maka dikatakan sudah satu jam berlalu.

Apa yang ada dalam pikiranmu ketika mendengar ini? Adakah engkau menemukan yang hebat dalam ide mereka ini?

Mereka telah mendefinisikan waktu dengan perubahan keadaan suatu materi atau benda. Batasan ini ternyata dipakai sampai sekarang. Satu tahun adalah satu kali bumi mengitari matahari. Satu bulan ialah satu kali bulan mengelilingi bumi. Satu hari adalah satu kali bumi berotasi pada sumbunya. Satu jam adalah satu kali putaran jarum pendek pada arloji. Satu menit adalah satu kali putaran jarum detikan. Dan satu detik adalah lebih dari sembilan juta kali atom cesium bergetar.

Atau lebih luasnya waktu didefinisikan dengan perubahan keadaan. Ini sesuai dengan surat favorit yang selalu aku baca ketika sholat, al-ashr. “Kalau waktu dibiarkan tanpa perubahan pada diri kita maka kita dalam keadaan merugi”. Bahkan kanjeng imam syafi’i menegaskan seandainya quran hanya berisi satu surat ini saja pun, maka itu sudah cukup untuk memberikan petunjuk bagi manusia.

Dan dalam hukum termodinamika kedua tersirat pengertian bahwa perubahan pada semesta itu cenderung ke arah ketidakteraturan. Dari yang teratur ke yang tidak teratur dan lebih tidak teratur lagi. Dua zat homogen yang dipertemukan akan cenderung berbaur dan ini berujung pada ketidakteraturan. Pengembalian campuran ke dua zat homogen memerlukan energi eksternal yang prosesnya juga membuat ketidakteraturan semakin bertambah.

Kita, aku dan engkau beserta segala manusia, memang tumbuh jadi lebih utuh dan makin sempurna. Namun untuk itu diperlukan ongkos pengorbanan sumber daya alam yang membuatnya makin tidak teratur. Dan balik sebentar ke ayat al-ashr di atas, maka sungguh makin terbukti bahwa jika proses pentidakteraturan semesta ini tidak kita imbangi dengan satu pun perubahan yang lebih baik pada diri kita, maka sungguh kita ini termasuk orang yang merugi.

Apapun saja yang kita lakukan entah itu hal yang sepele atau kegiatan yang signifikan, maka sungguh manakala kita hanya melakukannya dengan main-main itu sudah cukup menjadi alasan untuk mengatakan bahwa kita ini tidak percaya lagi pada hari pembalasan. Kanjeng nabi pernah bertutur dengan kalimat yang sangat pendek namun semesta maknanya sanggup memenuhi seluruh rangkaian hidup kita, “berbuatlah sesukamu niscaya engkau akan dibalas.”

La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadh-dhalimin. Tak ada tuhan selain engkau, maha suci engkau, sedangkan aku ini sungguh tergolong di antara orang-orang yang dhalim.

Ha na ca ra ka. Akhirnya, aku dan engkau tinggal menikamati ramadhan di kampus kita yang sebentar lagi pergi. Dan di saat itulah aku dan engkau hanya bisa mengatakan, “Sudahlah! Kita saksikan saja kelakuan jagad raya ini seperti apa adanya, sebab seandainya jagad raya ini lain coraknya, kita tidak akan pernah ada untuk menyaksikannya.”

Semua yang telah aku dan engkau lakukan mungkin tak begitu signifikan artinya bila ditinjau dari sistem sekompleks semesta. Tapi teori chaos tetap memeluangi bahwa faktor yang cukup minor pun bisa memiliki perubahan arti yang besar pada akibat. Kepakan sayap seekor kupu-kupu di Brazil telah membangkitan badai tornado di Texas Amerika.

Meski begitu liukan kesalahan selalu saja ada yang melekat dalam kinematika dan dinamika gerak kita. Namun demikian, seandainya waktu bisa diubah sedemikian hingga aku bisa mengulangi hidup, insyaAllah, aku akan mengulanginya apa adanya, tepat seperti yang telah terjadi, termasuk kesalahan-kesalahanku. Dengan nama Ar Rahman Ar Rahiim, aku percaya, apa yang telah dan akan terjadi adalah yang terbaik. Adalah sumpah Allah dalam Adl Dluha, demi waktu juga, bahwa masa depan adalah lebih baik.

Sebuah jasa dan pengabdian yang kita berikan kepada orang lain memang membutuhkan hati yang tulus dan ikhlas. Dengan rasa ikhlas semata-mata berbuat karena Allah, berbuat sesuatu kepada orang lain tidak akan diikuti oleh rasa bangga yang berlebihan sehinggga menimbulkan sikap sombong yang menganggap orang lain menjadi rendah atau sangat rendah. Karena apapun saja yang kita alami dan kita ketahui dalam menjalani kehidupan ini, hanyalah jalan untuk memperoleh ketakjuban kepada betapa agungnya Allah, penguasa semesta raya.. Kalau senang kita takjub dan tersenyum. Kalau sedih, kita takjub dan tersenyum.

Alif ba’ ta’. Kiai Cholil pernah bertutur: ”Andaikan aku menyaksikan Kanjeng Nabi tenggelam amat khusuk dalam sujudnya yang asyik, barangkali, aku akan terbawa hanyut dalam nikmat atau sambat, malu atau tersedu. Nikmat karena kepalaku dibelai oleh tangan-kasih Allah. Sambat karena betapa aku paksa diri ini untuk bisa mendekat kepada-Nya. Namun terhalang oleh dinding kuat syahwat. Malu karena banyak mengabaikan perintah dan larangan-Nya, namun masih terus mengajukan pinta. Tersedu karena tidak kuasa mengatasi kerentanan hati dan menyesali ketidakberdayaan menerima keluhan, namun tidak mampu me-wejang agar "bersabar" sekalipun. Ya Allah! Berapa saja kenikmatan yang engkau berikan dan kami lupa mensyukuri, tetapi Engkau tidak menutup anugerah-Mu.”

Beribu syukur kepada Allah, Tuhan jagad semesta, pemilik segala ilmu dan satu-satunya pelontar ilham. Shalawat dan salam untuk Rasulullah SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman. Terima kasih berat kepada semua ikhwan dan akhwat, kepada seluruh alam dan malaikat, atas kemesraaan kerja sama dalam usaha mengkhalifahi kehendak-kehendak Allah yang berat ini.

Taqobalallahu minna wa minkum.

Mohon maaf atas segala khilaf
dan dosa saya kepada antum semua




Rachmad Resmiyanto
Ketua Umum Ramadhan Di Kampus 1424 H Tahun 2003

No comments:

Post a Comment