Rachmad Resmiyanto
BEBERAPA PEKAN SILAM kita menyaksikan pemandangan adanya kompetisi untuk membuat desain jaket yang akan digunakan sebagai identitas kaum jsian. Sekarang, setelah berjalan beberapa waktu lamanya, kompetisi itupun berakhir. Tentu layaknya sebuah pertandingan, di sana ada yang kalah dan ada yang menang. Saya mengucapkan selamat kepada yang menang. Dan kepada yang kalah saya hanya bisa melontarkan : ”bersabarlah karena sesungguhnya akhirat itu lebih baik daripada dunia seisinya” .Kompetisi desain jaket kemarin sebenarnya amat menarik untuk dibincangkan. Antum bisa membayangkan bahwa pemenang lomba hanya ditentukan dengan polling di papan. Itupun harusnya diragukan. Pertama, kriteria pemenang hanya ditentukan jumlah suara, One man one vote. Ini menunjukkan bahwa kekuatan mayoritas yang akan menentukan. Tak peduli desainnya kayak gimana, asalkan pemilihnya banyak maka ia menang. Disinilah kita bisa curiga bahwa kompetisi ini berpeluang untuk memunculkan suasana tak sehat. Orang akan dengan mudah untuk melakukan pengerahan massa agar desainnya bisa menang.
Kedua, persentase jumlah pemilih tidak sebanding dengan jumlah jsian. Kita semua tentu masih ingat bahwa TKJS I kemarin saja jumlahnya sekitar 50-an. Itu belum sebelumnya. Dan juga belum yang lainnya. Proporsi yang tidak sebanding ini saya pikir bisa menyebabkan cacatnya kompetisi sekalipun kita bisa berargumen dengan menganalogikan pemilu indonesia dan pemira ugm.
Ketiga, pihak penyelenggara dengan seenaknya melakukan kompetisi desain, lalu mengklaim bahwa ini adalah jaket jsian. Tindakan seperti ini mencerminkan bahwa seolah-olah mereka telah mendapat limpahan otoritas dari seluruh kaum jsian. Kemudian mereka berusaha untuk memperjuangkannya sebagai identitas kaum jsian. Lumayan heroik juga teman kita ini.
Keempat, seharusnya kompetisi kemarin tidak boleh ada pemenangnya. Yang disebut pemenang maka ia harus secara absolut menang. Baik desain, tulisan, gambar, ataupun corak. Sedangkan desain sekarang, sepanjang ingatan saya sama sekali berbeda dengan yang kemarin diikutsertakan dalam kompetisi.
JAKET, Sebagai kata benda, barang ini bukanlah barang asing. Hampir tidak ada yang tidak mempunyai barang yang satu ini. Tidak hanya sampai di situ saja. Hampir semua diantara kita suka menggunakannya setiap saat meskipun sebenarnya ia lebih tepat berfungsi sebagai pakaian untuk menahan serangan cuaca dingin. Rupanya telah terjadi semacam pergeseran fungsi. Semula ia hanya berfungsi sebagai alat pemuas kebutuhan manusia di kala udara dingin. Namun sekarang ia lebih dari sekedar itu.
Sebagai kata kerja, jaket identik dengan identitas pemakainya. Hampir dipastikan saya bisa mengenal orang hanya dengan melihat kalimat dan simbol yang ada di jaketnya. Apalagi ketika kita masih menjadi mahasiswa baru, niscaya yang pertama kali kita bahas dengan teman-teman se-angkatan kita adalah jaket. Seolah-olah jaket simbol pemersatu. Barangkali sekarang jaket merupakan pakaian adat mahasiswa bahkan pada level aras tertentu ia akan menjelma sebagai pakaian pusaka. Sampai-sampai muncul kosa kata jaket almamater.
Fenomena tersebut tidak hanya melanda mahasiswa baru yang dapat dimaklumi sebab hanyut dalam euforia masa transisi sekolah ke kampus. Namun fenomena ini telah menggejala di hampir semua kalangan mahasiswa, dari mahasiswa konservatif sampai mahasiswa aktivis (jika kita sepakat bahwa kerangka acuan yang digunakan adalah aktivitas di luar kampus). Dalam kelompok aktivis pun masih bisa ditaksonomikan. Dari pergerakan kiri sampai kanan, dan juga dari HMJsampai UKM. Bahkan komunitas-komunitas informal pun agaknya tak mau ketinggalan.
Merebaknya jaket sebagai sebuah identitas kedirian masing-masing, memang bisa dimaknai bermacam-macam. Disadari atau tidak jaket merupakan fenomena unik dan perlu dicermati bersama. Ia telah begitu hebat dalam memunculkan sebuah ekses dalam kaitannya dengan eksistensi kita.
Mungkin benar bahwa masyarakat kita sebenarnya masih semi rasionalis. Mereka masih saja mengambil budaya-budaya feodal. Simbol masih dianggap sebagai sesuatu yang bisa menunjukkan status sosial. Semua itu kalau kita baca akan bermuara pada keinginan untuk menunjukkan eksistensi mereka. Ada semacam privellege lebih manakala kita memakai jaket bersimbol.
Setuju atau tidak, jaket kita adalah sebuah fenomena. Ketika saya memakai jaket fisika saya, orang yang ndak paham fisika mungkin mengimajinasikan saya sebagai orang yang pikirannya seperti Isaac Newton , David Hilbert , Albert Einstein , Feynman , atau bahkan bisa jadi membayangkan saya adalah seorang Hawking muda. Bahkan bukan mustahil saya akan dijadikan teman sebab bisa dimintai tolong untuk menyelesaikan PR kalkulus.
Tapi di lain waktu saat saya memakai jaket pinjaman katakan saja jaket HMI, persepsi yang ditangkap orang akan lain. Dengan segenap cerapan yang ada di kepalanya tentang hmi, ia akan mencitrakan saya sebagai orang yang suka berwacana, pintar adu argumen, bacaannya berat-berat , suka berpikir yang aneh-aneh, selalu bersikap politis, bermusuhan sama anak-anak Kammi. Karenanya orang semacam saya ini harus dijauhi (kalau perlu sampai mati).
Beda lagi jika saya membawa jaket KAMMI. Orang mungkin menduga saya ini suka tahlilan dengan Al Ma’tsurat-nya Hasan Al banna, bacaan-bacaan saya berporos Qardhawi-Qutb-Anis Matta Cs, suka menggunakan kosa kata antum- ana-afwan, menyukai acara model likak-likok, dan yang lebih parah saya pasti diidentikkan dengan gerombolan orang-orang keadilan. Orang kemudian akan menangkap bahwa saya pasti suka bila diajak demo.
BEGITULAH JAKET. Ia berperan dalam proses justifikasi pencitraan. Tak peduli benar atau salah orang akan segera mencitrakan kita sesuai dengan cerapan image yang dia terima tentang simbol jaket kita. Repotnya pencitraan ini tidak akan berhenti sampai di situ. Sebuah pencitraan selalu diikuti tindakan. Bisa baik bisa buruk. Disinilah resistensi orang lain muncul. Boleh jadi ia akan sinis dengan kita, mencibir dan bilang : “geblek, mendem, njijiki, sok alim, radikal dan sebaginya.”. Atau jangan-jangan bisa jadi ia malah tertawa menggelegak.
Bahasa dan Hegemoni Dalam Jaket Kita
Mengamati desain grafiti dalam jaket kita, saya menangkap adanya sebuah kerinduan untuk menunjukkan semangat kesombongan kita dalam berorganisasi. Betapa tidak? Di sana brand Jama’ah Shalahuddin ditulis dengan ukuran font yang besar. Inilah titik terang yang bisa memberi petunjuk informasi, sebenarnya kita mau apa di JS? Jawaban dari pertanyaan ini amat beragam bergantung siapa yang menjawab. Saya tidak akan curiga dan berburuk sangka kepada siapapun. Ini adalah wilayah privat diri kita. Tetapi rasanya kita semua perlu menjawab, kenapa kita mempunyai semangat arogansi dalam berorganisasi?
Saya ini orang yang bodoh adalam agama. Maka tatkala disana saya melihat terpahat ungkapan Allah..Cinta Para Mujahid, saya tidak tahu apakah ungkapan ini ada nash yang shahih atau tidak. Atau ia malah hanya sekedar artikulasi dari luapan semangat yang membara.
Di titik ini kita sebenarnya telah menyulut dan mengobarkan api perang klaim kebenaran dan janji keselamatan. Begitu api ini meliuk ke langit, ia akan meletupkan keberagamaan yang eksklusif dan melahirkan suasana saling curiga antar-mahasiswa
Agama yang sejatinya diturunkan ke muka bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman lahir-batin bagi kehidupan manusia, justru dijadikan pembenaran bagi terjadinya kekerasan, sikap intoleran, eksklusif, apriori, dan anarkis.
Dapat dikatakan bahwa frase ungkapan di atas paling tidak memberi informasi bahwa dalam diri kita masih ada noktah kesombongan beragama. Jadi ada dua kesombongan sekaligus dalam jaket kita, kesombongan berorganisasi dan beragama. Teks Allah..Cinta Para Mujahid merupakan wakilan untuk yang kedua. Teks ini juga bisa dimaknai positif sebagai keseriusan kita beraktualisasi di JS.
Celakanya, sahabat-sahabat kita yang memesan jaket ini orangnya kocak-kocak. Antum bisa membuktikannya dengan melihat merk kedirian mereka dalam daftar pemesan jaket. Jadi ada semacam paradoks dalam jaket kita nanti. Punggung bertuliskan teks yang membuktikan kita serius, namun begitu kita lihat orang itu dari depan, saya yakin kucing di JS pun akan tertawa. Padahal Imam Hasan Al Banna rahimahullah dalam salah satu wasiatnya mengatakan, umat yang berjihad hanya mengenal keseriusan.
"Language is the house of being," kata Martin Heidegger. Kemudian Komaruddin Hidayat meneriakkan, bahasa adalah rumah kita, tempat lahir dan tumbuh sebagai manusia. Tanpa bahasa, tak ada dunia manusia. Namun pengertian bahasa bukan semata sebuah ucapan dan rangkaian kata yang kemudian membuat kalimat. Bahasa adalah ekspresi kemanusiaan kita. Bahasa adalah rumah budaya dan peradaban.
Barthes mengingatkan bahwa teks bukanlah untaian kata-kata yang siap melepaskan makna “teologis” tunggal semata, yaitu pesan dari sang penciptanya saja, tetapi berasal dari ruang multi dimensi yang terbentang dalam beragam tulisan. Teks tidak lain sejumput kutipan yang tergambar dari pusat-pusat budaya yang tak tereja jumlahnya.
Hendaknya kita sadar, apapun teks yang kita pakai selalu saja ada 'ideologi' yang bergerak di baliknya. Ideologi inilah yang nantinya mempengaruhi wilayah penggunaan, teritorial, gaya, ungkapan, pilihan kata, dan kosa kata yang digunakan serta pengetahuan (kebenaran, realitas) yang diungkapkan atau disembunyikan oleh teks tersebut.. Sesungguhnya teks sebagai sub sistem bahasa merupakan bagian dari sebuah sistem 'medan perang simbolik'.
Menurut Gramsci --seorang Marxist Italia--, dominasi bahasa [dalam konteks ini wakilannya teks] merupakan bagian utuh konsep 'hegemoni'. Di dalam sebuah sistem kekuasaan [di mana cengkeraman ideologi ingin bercokol] tidak hanya diperlukan 'kekuatan' , tetapi diperlukan juga 'penerimaan publik' yang diperoleh lewat mekanisme kepemimpinan kultural, termasuk kepemimpinan bahasa.
'Penerimaan publik' biasanya diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai mekanisme 'opini publik'. Bahasa --sebagai sebuah ruang di mana simbol-simbol diproduksi dan disebarluaskan-- di mata Gramsci bukanlah alat kekuasaan dominan yang diterima secara pasif. Sebaliknya, bahasa secara total (bersama bahasa tandingan) membentuk sebuah 'ruang' tempat berlangsungnya sebuah 'perang bahasa' atau 'perang simbol' guna memperebutkan 'penerimaan publik' atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan.
Akan selalu ada resistensi-resistensi terhadap ideologi dominan, yang harus dicari resolusinya, agar selalu dapat memenangkan penerimaan publik.
Kekerasan Simbol Dalam Jaket Kita
Istilah kekerasan simbol dipopulerkan pertama kali oleh Pierre Bourdieu di dalam beberapa karyanya. 'Kekerasan simbol' menurut Bourdieu adalah sebuah 'bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak', yang menyembunyikan di baliknya pemaksaan dominasi. Kekerasan simbol bukanlah sekedar bentuk dominasi melalui bahasa dan (media) komunikasi; ia adalah penggunaan dominasi sedemikian rupa sehingga dominasi tersebut 'diakui secara salah' (mis-recognized) dan meskipun demikian 'diakui' (recognized) sebagai legitimate.
Ada perbedaan mendasar antara konsep 'kekerasan simbol' dan 'hegemoni'. Bila dalam mekanisme hegemoni aspirasi dari bawah (masyarakat sipil) 'diserap' dan 'diartikulasikan' guna memenangkan penerimaan publik, maka dalam mekanisme 'kekerasan simbol', sebaliknya. Penerimaan publik tersebut 'didistorsi' sedemikian rupa sehingga publik menerima kriteria, konsep atau nilai-nilai kelas dominan untuk menilai diri dan mendefenisikan pandangan hidup mereka sendiri.
Agaknya alinea terakhir lebih dari cukup sebagai bekal untuk mengatakan bahwa pemegang otoritas desain jaket kita memang hebat. Ia telah melakukan dua hal sekaligus, kekerasan simbol dan hegemoni secara rapi dalam bungkus kompetisi desain jaket yang hampir tidak ada jsian yang tahu. Mekanisme hegemoni diterapkan dalam kompetisi desain agar terkesan mengakomodasi aspirasi bawah dan bisa diterima publik. Selanjutnya penerimaan publik tersebut (desain) didistorsi menurut kemauannya.
Bravo wacana!
Wallahu ta’ala a’lam.
Hari ke empat belas di bulan agustus pada tahun dua ribu tiga
No comments:
Post a Comment