Monday, April 06, 2009

Kota Surabaya

Rachmad Resmiyanto

Pada 1293, tepatnya 31 Mei, di muara Kali Mas, pasukan Raden Wijaya berhasil mengalahkan pasukan Mongol. Pertempuran keduanya diceritakan sebagai pertempuran antara Boyo dan ikan Suro. Pasukan Mongol adalah Boyo, bahaya. Pasukan Raden Wijaya adalah ikan Suro, ikan Hiu yang berani. Selepas itu, tempat tersebut kemudian menjadi gerbang Kerajaan Majapahit. Ia menjadi tempat penting dan pelabuhan yang ramai. Sekarang tempat itu dikenal sebagai Surabaya.


Ikon kota Surabaya, ikan Hiu dan Buaya yang sedang bertarung.
Gambar ini saya ambil di depan Kebun Binatang Wonokromo.


Surabaya bermakna orang-orang yang berani menghadapi bahaya. Selang 650 tahun seusai Raden Wijaya menang atas Kubilai Khan, tentara Sekutu dan NICA (Belanda) yang baru saja menang atas Perang Dunia 2 membuktikan keampuhan Surabaya. Sepanjang Perang Dunia 2 tidak ada satu pun perwira Sekutu yang mati sampai mereka memenangkan pertempuran. Di kota inilah, satu perwira Sekutu mati. Namanya Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby. Ia mati di dekat Jembatan Merah. Ia adalah brigadir jenderal Britania, komandan Brigade 49 divisi India dengan kekuatan ± 6.000 pasukan yang merupakan bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Jembatan Merah masih utuh sampai sekarang.

Kawasan sekitar Jembatan Merah, tempat AWS Mallaby tewas terbunuh.
Sayang sekali, kawasan itu justru digunakan untuk plasa,
saya mengganggap ini tindakan yang kurang menghargai sejarah. Foto saya ambil tahun 28-06-2008.


Surabaya menjadi kota yang mengawali perlawanan semesta di Indonesia pasca beberapa pejuang di Jakarta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Terhitung mulai 10 November 1945, perlawanan terbuka terhadap Sekutu dan NICA meluas di Surabaya. Perang agung itu dipicu ultimatum Mayor Mansergh yang meminta seluruh arek Surabaya untuk menyerah pada pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Ia adalah pengganti AWS Mallaby.

Dalam situasi mencekam itu, pemerintah Jakarta tidak memberikan jawaban tegas atas ultimatum Mansergh. Gubernur Suryo dan Bung Tomo bersepakat untuk melawan Sekutu. Bung Tomo adalah orator ulung. Di tanah Hindia Belanda , ia menjadi orang kedua di kepanduan yang mencapai derajat Pandu Garuda. Ia cakap sekali kalau membakar semangat rakyat. Saya mencatat, di Indonesia baru ada 2 orang yang sanggup berbuat demikian, Bung Karno dan Bung Tomo. Bung Karno asli Blitar, Bung Tomo asli Surabaya. Melalui corong radio Bung Tomo menyeru pada seluruh rakyat Indonesia yang ada di Surabaya untuk menjawab tantangan Sekutu, lebih baik perang ketimbang harus tunduk pada Sekutu. Selama perang berkecamuk, tiap malam ia selalu mengobarkan pidato-pidato perlawanan yang bersemangat.

“Selama banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah yang sanggup membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan menyerah kepada siapapun juga”, demikian Bung Tomo membakar semangat.

Bung Tomo memimpin barisan pemberontakan yang melatih pemuda-pemuda Indonesia di Surabaya dan kemudian dikirim kembali ke seluruh Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Ini semacam faksi jihad. Pidato-pidato Bung Tomo selalu dihiasi dengan kumandang takbir yang membahana.

“Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”

Saya merinding tatkala pertama kali mendengar orasi Bung Tomo ini. Saat itu saya sedang berkunjung ke Tugu Pahlawan 28 Juni 2008. Saya betul-betul penasaran dengan Tugu Pahlawan. Ketika saya ditanya oleh Koordinator Kerjasama Universitas Negeri Surabaya Suharsono, Ph.D, tempat mana di Surabaya ini yang ingin dikunjungi, saya spontan menjawab Tugu Pahlawan. Saya bersyukur, akhirnya bisa juga datang ke sana. Tempat yang menjadi saksi keberanian rakyat melawan Sekutu.

Saya merasa senang bisa berpose (meskipun hanya) di samping patung Bung Tomo.

Ini merupakan foto barang-barang peninggalan Bung Tomo.
Selama perang berkecamuk, ternyata Bung Tomo masih sempat untuk
membuat diari yang ditulis dengan pensil di atas kertas merang (sejenis jerami). Pastinya, Bung Tomo merupakan laki-laki yang begitu romantis.


Sekutu rupanya salah meramal. Mereka kira, arek-arek Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja. Nyatanya, mereka perlu 30 hari. Perang itu adalah perang terbuka dan bukan perang gerilya. Perang Surabaya menjadi perang pertama di Indonesia pascamerdeka. Ini perang yang tidak imbang, Sekutu mengerahkan segenap armada 3 angkatan. Mereka menggempur dari darat, laut dan udara. Sementara kebanyakan pejuang Surabaya hanya mengandalkan senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Jasad para pejuang bertebaran di mana-mana, 16.000 orang menjadi syuhada. Sekutu dan NICA kehilangan 2.000 serdadu. Sekalipun begitu, Sekutu dan NICA selalu mengenang perang dahsyat itu. Sekutu menyebutnya sebagai Neraka Surabaya. Surabaya memang orang-orang yang berani menghadapi bahaya.

2 comments: