Oleh Rachmad Resmiyanto
Ada beragam tanggapan dan reaksi yang berhamburan seusai nilai akreditasi prodi yang turun satu tingkat. Ada yang histeria. Ada yang kecewa. Ada yang mau demonstrasi. Ada yang ingin pindah ke perguruan tinggi tetangga. Ada juga seraut penyesalan yang muncul dan menyalahkan diri sendiri kenapa dulu memilih perguruan tinggi ini. Ada pula yang takut kelak tidak bisa menjadi pegawai negeri. Ada lagi dan ada lagi.
Reaksi-reaksi yang datang silih berganti seolah dan seakan-akan menegaskan bahwa nilai akreditasi merupakan pertanda datangnya petaka di masa depan. Nasib setelah ini terasa begitu malang. Jalan ke depan terasa begitu gelap. Di depan sana seolah hanya terlihat kegelapan demi kegelapan dan tak ada seberkas cahaya yang dapat dijadikan obor penerang jalan ke depan. Nilai akreditasi seolah membawa sinyal dari jaman yang akan kita songsong. Ia seakan-akan merupakan duta dari masa depan yang penuh dengan kalabendu.
Ini adalah kemirisan bersama. Bukan hanya keresahan milik kita tapi juga tarian kesenduan bagi bangsa ini.
Kita ternyata telah menaikkan derajat akreditasi pada tingkat yang seharusnya bukan milik akreditasi. Maqam akreditasi telah kita naikkan ke atas kepala kita. Ia kita “sunggi” dengan kepala kita. Sebagaimana kepala yang merupakan singgasana bagi mahkota, maka demikianlah kehormatan akreditasi dalam rongga dada kita. Akreditasi telah menjadi dewa dalam kosmologi pendidikan kita.
Saya mulai kuatir. Di tengah-tengah usaha kita bersama untuk menghancurkan berhala-berhala dengan kapak Ibrahim ternyata dalam usaha itu bersemi berhala baru. Di tengah-tengah usaha kita untuk menumbangkan kekuasaan Firaun dengan meminjam keberanian Musa ternyata masih hidup dengusan Sapi Samiri.
Kita semua hidup dalam sistem pendidikan yang berkiblat pada pasar. Sekolah-sekolah, kurikulum salah kaprah telah mengajari kita untuk tidak menomorsatukan Allah dalam segenap langkah kemanusiaan kita. Pendidikan yang sejatinya membawa kita untuk terus menuju derajat “ahsanu taqwim” tetapi nyatanya justru menjerembabkan kita pada kubangan “asfala safilin” . Pencarian ilmu yang hakikatnya untuk menghilangkan kejahilan tapi justru menambah kebebalan kita dalam relasi manusia alam dan Tuhan. Sekolah tidak semakin menjadikan kita kstaria dan lebih waskita dalam mengembarai hidup ini, tetapi justru memupuk ketakutan demi ketakutan yang menjauhkan diri kita dari tugas kekhalifahan di muka bumi.
Tak usahlah kita berhitung dan bertanding dengan keberanian penjual angkringan. Kita para sarjana, beranikah untuk memutuskan diri menjadi penjual angkringan? Sebab, para penjual angkringan itu pasti juga memiliki keberanian yang sama dengan kita untuk menjadi sarjana. Ia tidak pernah takut menjadi penjual angkringan, apatah lagi takut menjadi sarjana.
Sekolah-sekolah, kurikulum salah kaprah telah mengajari kita berhala. Kita semua telah menyemai dan menumbuhkembangkannya dalam hati dan pikiran, menyatu dengan siang malam kita. Kita sudah terjerat dan sulit untuk melepaskan diri sebab ia telah menafasi hidup kita seperti udara memberi kehidupan pada metabolisme raga. Berhala menjadi bukan berhala sebab ia tak lagi memiliki jarak dengan kesadaran kita.
Akreditasi hanyalah sekedar nilai. Tak usahlah kita mengunggul-unggulkannya melebihi kepala kita. Biarlah akeditasi bersemayam ditempatnya. Sesuatu yang rendah derajatnya tak usah kita bawa serta pada ketinggian dan kebesaran. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepada-Nya, yang lain-lain itu menjadi kecil adanya.
Adapun sesudah usaha gigih untuk bersama-sama bisa meraih itu semua namun kita masih didera oleh tusukan-tusukan jarum kesedihan, maka janganlah lupa kita akan mendapatkan seratus kali lipat makna kesabaran dan pahala perjuangan. Masihkah terngiang, totalitas kepasrahan para ilmuwan peneliti alam ketika mereka menjumpai perilaku alam yang ternyata adalah begini dan kenapa bukan begitu? Kenapa jarak matahari dan bumi adalah 150 juta kilometer dan kenapa bukan 200 juta kilometer saja. Kenapa bilangan phi adalah 3,14 dan kenapa bukan 3,15 saja. Kenapa semuanya berjalan begini adanya dan bukan begitu rupa? Para ilmuwan peneliti alam, orang-orang yang senantiasa berupaya menyingkap rahasia yang Allah taburkan ke segenap alam raya ini, telah sampai pada makna kesabaran dan tingkat kepasrahan yang amat tinggi. Kita saksikan alam raya ini begini adanya, sebab jika tidak, kita tidak akan pernah ada untuk menyaksikannya.
Akreditasi hanyalah sekedar nilai. Ia tak memiliki kekerabatan dengan kemuliaan dan kehinaan kita. Kalaupun akreditasi menjadi turun satu tingkat, maka itu sedikitpun tidak mengurangi kemuliaan kita, juga tidak menambah kehinaan kita. Marilah kita memaknainya sebagai tarekat Allah dalam mencintai kita. Dengarkanlah, betapa Allah telah mengajari kita cara berbahagia dengan akreditasi ini. Dengarkanlah, betapa Allah juga mengajari kita teknik menderita dengan akreditasi ini.
Allahu rabbi, tetaplah Engkau menaburkan maaf-Mu kepada kami atas ketidakmampuan kami untuk menerjemahkan jalan cinta-Mu. Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadhdhalimiin. Tiada Tuhan selain Engkau, sungguh kami ini tergolong orang-orang yang berlaku aniaya.
Allah menuntun kita yang lemah ini untuk tidak merayakan kebahagiaan dengan melonjak-lonjak dalam pesta pora kemewahan nilai. Allah menuntun kita yang cengeng ini untuk tidak berduka dengan meratap-ratap dalam suasana nestapa penuh air mata. Allah tak rela jika kita berlaku demikian. Segenap apapun pendapatan nilai itu, kita bawa ia serta dalam rakaat yang tujuh belas jumlahnya. Segala suka dan duka yang berkerumun di rongga dada kita angkut semuanya dalam satu kendaraan jiwa yang istiqamah dan muthma’inah. Tetap tegak di tengah hempasan dan tenang tenteram dalam segenap kepasrahan kepada-Nya.
Kayen-Yogyakarta, 13 Shafar 1431 H/18.01.2011
Rachmad Resmiyanto
No comments:
Post a Comment