Monday, January 24, 2011

Merapikan Argumen

Oleh Rachmad Resmiyanto

(Materi Pengantar Logika untuk BATRA HMI MPO Cab . SLeman)



Sebuah kalimat dibangun oleh kata-kata. Bila bangunan kata itu tak rapi, tak punya makna, ia bukan kalimat. Kata-kata yang disusun itu kelak dapat membentuk pernyataan, pertanyaan, perintah atau permintaan. Dari keempat itu, hanya pernyataan (proposisi) saja yang punya nilai benar atau salah. Nilai ini hanya boleh dimiliki satu saja pada satu kesempatan. Artinya, benar dan salah tidak bisa secara serempak menjadi nilai sebuah pernyataan.

Dalam khasanah ilmu, “pernyataan” ini lebih dikenal sebagai “teori”. Karenanya, perdebatan dalam lapangan ilmu hakikatnya merupakan perdebatan apakah pernyataan itu memiliki nilai benar atau salah. Ramai perdebatan ini bermula sejak era ribuan tahun lampau hingga kini. Ada nama-nama Plato, Aristoteles, Al Kindi, Bacon, Pierce, Russel, Whitehead dll.

Pernyataan “Semua manusia akan mati” dan “Jumlah sudut-sudut segitiga adalah 180 derajat” dapat memiliki nilai benar atau salah. Tentu saja, sebelum menyematkan nilai “benar” atau “salah”, perlu diupayakan penelitian terhadap pernyataan itu.


Ikhtiar ini dapat ditilik dalam buku macam “Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer” yang ditulis Jujun S. Suriasumantri, atau juga “Sejarah Pemikiran Ekonomi, suatu pengantar teori dan kebijaksanaan ekonomi” karangan Komaruddin Sastradipoera. Buku Filsafat Ilmu Jujun merupakan buku yang sangat digemari banyak orang. Buku yang saya miliki sudah merupakan cetakan ke-18. Ia berangka tahun 2005, terbit pada bulan April.

Ada 3 kriteria buat meneliti suatu pernyataan,apakah ia benar atau salah. Tiga kriteria itu yakni teori koherensi, teori korespondensi dan teori pragmatis.

Menurut teori koherensi, pernyataan akan dianggap benar jika pernyataan tersebut bersifat koheren (bertalian secara logis) atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Teori ini dikembangkan oleh para filosof Yunani, Plato dan Aristoteles, juga Euclides. Ini adalah cara pikir deduktif.

Dalam pandangan teori korespondensi, nilai kebenaran pernyataan dilihat dari materi yang terkandung adalam pernyataan tersebut apakah berkorespondensi dengan objek yang dituju atau tidak. Misalnya, Ibu kota Indonesia adalah Jakarta. Ini pernyataan yang benar sebab pernyataan itu berkorespondensi dengan kenyataan. Cara pikir macam ini dikenal sebagai cara pikir induktif.

Dua pandangan di atas berbeda dengan teori pragmatis ala Pierce. Menurut teori ini, nilai benar atau salah akan ditemukan dalam konsekuensinya dalam tindakan. Jadi, pernyataan akan benar jika pernyataan itu punya guna praktis dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, sebuah pernyataan yang dulu bernilai benar, suatu waktu, ketika ia sudah tak lagi fungsional akan dianggap sebagai pernyataan yang salah.

Sekali lagi, pernyataan hanya dapat bernilai salah satu, benar atau salah. Beberapa pernyataan yang disusun rapi akan menjadi argumentasi. Dengan demikian, argumentasi tidak mungkin punya nilai kebenaran. Argumentasi hanya punya nilai valid atau invalid, sahih atau tidak sahih.

***

Ada banyak ragam kesalahan ketika seseorang mengungkapkan argumen-argumennya buat mendukung pernyataan yang ia yakini benar. Diantara banyak ragam itu, saya akan menyajikan beberapa saja. Saya punya harapan ini dapat membantu merapikan argumen kita ketika hendak mendukung atau menyanggah sebuah gagasan. Kesalahan-kesalahan ini kerap kali, dalam diskusi-diskusi logika, disebut dengan istilah fallacy. Barangkali, dalam tata pergaulan keseharian, kita dapat memadankan istilah fallacy ini dengan “ngawur”. Istilah lain buat ini, yang lebih tajam, ialah sesat pikir.

Satu, generalisasi yang tergesa-gesa. Banyak orang sering secara serampangan melakukan hal ini. Ia ambil satu dua kasus yang cocok lantas mengambil kesimpulan. Biasanya, satu dua kasus tersebut merupakan pengalaman pribadinya. Kesimpulan yang hanya berdasarkan pada satu dua kasus ini kerap disebut sebagai over generalization. Cara bikin argumen yang semacam ini disebut sebagai fallacy of dramatic instance.

Di negara kita, banyak sekali orang yang jatuh miskin. Para cendekiawan kemudian bikin satu teori kemiskinan. Katanya kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh ketimpangan struktur ekonomi. Inilah yang kita kenal sebagai teori kemiskinan struktural.

Kita acapkali menjumpai bahwa seorang yang miskin tapi ia memiliki daya juang hidup yang ekstra luar biasa. Ia punya semangat wirausaha yang tinggi, tekun, ulet dan tabah. Akhirnya, suatu saat orang-orang macam ini bisa juga menjadi kaya. Maka, asalkan oaang-orang miskin itu seperti yang kita jumpai tersebut, kita percaya bahwa orang miskin itu akan menjadi kaya. Kemudian kita menolak teori kemiskinan struktural dengan kasus-kasus tersebut. Cara berargumen yang demikian ini merupakan generalisasi yang tergesa-gesa. Satu dua pengalaman pribadi digunakan buat menyanggah sesuatu yang amat luas cakupannya.

Dua, menganggap sebagai keniscayaan sejarah. Lokalisasi pelacuran dan lokalisasi perjudian merupakan buah dari argumen yang semacam ini. Pelacur dianggap sebagai sesuatu yang selalu ada sepanjang sejarah. Dari jaman baheula hingga sekarang, yang namanya pelacur akan selalu berkembang subur. Dari jaman orang menulis di daun lontar sampai orang menulis di komputer berlayar digital, yang namanya penjudi selalu abadi. Pelacuran dan perjudian dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari. Ia selalu ada sepanjang sejarah manusia.

Demikian pula dengan kemiskinan. Sepanjang sejarah manusia, juga selalu ada kelompok manusia yang miskin.

Maka, buat apa meributkan kemiskinan? Buat apa bikin diskusi-diskusi bagaimana menghapus pelacuran? Buat apa capek-capek mencegah orang bermain judi?

Modus berargumen ngawur macam begini, selalu mengacu kembali ke belakang, meyakini adanya sesuatu yang telah ditentukan dalam sejarah masa lalu lazim disebut sebagai fallacy of retrospective determinism.

Tiga, salah dalam mencari hubungan sebab akibat. Tiap peristiwa atau kejadian hampir dipastikan merupakan peristiwa yang bersyarat. Maksudnya, peristiwa itu tidak bisa berdiri sendiri sebagai satu peristiwa, tetapi peristiwa itu selalu butuh peristiwa-peristiwa lainya sehingga peristiwa tersebut dapat terjadi. Acapakali, peristiwa tersebut terjadi secara beruntun, sambung-menyambung jadi satu. Tapi, tidak menutup kemungkinan peristiwa tersebut terjadi dalam jeda waktu yang tidak berurutan, sehingga ia diselingi oleh peristiwa-peristiwa lainnya dulu yang tidak memiliki kaitan dengan peristiwa tersebut.

Orang harus jeli dan teliti ketika membangun argumen terkait dengan peristiwa-peristiwa itu. Banyak orang terjebak. Argumen yang sering dibangun berdasarkan urutan jeda peristiwa ini biasanya menyatakan bahwa peristiwa pertama merupakan sebab dari peristiwa kedua.

Beberapa orang tua, sering ambil argumen yang keliru. Ketika anak keduanya lahir, tiba-tiba karirnya melesat naik. Ia dipromosikan naik jabatan. Rizkinya mendadak lebat. Karenanya, orang tua ini lebih mencintai anaknya yang kedua ketimbang yang pertama. Beda ceritanya dengan kelahiran anak ketiga. Seusai kelahirannya, ia sering ambil kebijakan yang keliru di kantor. Banyak pekerjaan yang tak lagi beres. Ia susah naik jabatan lagi. Dan kesimpulannya, ini pasti dampak kelahiran anak ketiga. Maka ia mengangap anak ketiganya sebagai pembawa sial. Di sini, orang tua menyelipkan satu asumsi dasar, bahwa seluruh peristiwa tersebut merupakan serangkaian peristiwa yang saling berkelindan dan ada kausalitas dalam rentetan peristiwa tersebut. Sesudah peristiwa itu terjadi, oleh karena itu terjadi yang demikian. Gaya ngawur yang macam ini namanya post hoc ergo propter hoc atau non causa pro causa.

Saya rasa kita perlu mengingat kalimat sederhana ini, urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan adanya hubungan sebab akibat.

Empat, berargumen dengan menggunakan otoritas yang tak relevan. Kewibawaan, pengaruh, atau semacam kharisma memang kadang menyilaukan. Perkara-perkara ini acapkali bikin ganggu dalam penalaran kita. Banyak yang langsung begitu saja menerima sebuah gagasan atau argumen hanya berdasar pada wibawa atau kharisma. Wibawa, kharisma dan segenap atribut-atribut kedirian sebangsanya merupakan sebuah otoritas.

Sering terjadi, dalam diskusi tentang suatu perkara, ada yang mencoba membangun argumen dengan menyatakannya bahwa argumen lawan bertentangan dengan Al Kitab wa sunnah. Sejatinya, orang tersebut tidak mesti bertentangan dengan Al Kitab wa sunnah, tetapi bertentangan dengan penafsiran lawan bicaranya.

Sering pula, orang bulat-bulat menerima suatu pernyataan hanya karena yang menyatakan merupakan pemimpin partai besar atau pemimpin organisasi massa yang raksasa. Sikap ini, langsung menerima hanya karena gagasan/pernyataan tersebut dikemukakan oleh orang yang sudah dikenal keahliannya merupakan kesalahan berpikir dalam jenis ini, argumentum ad verecundiam. Ada juga yang menyebutnya sebagai argumentum ad auctoritatis. Dalam tradisi agama, orang macam begini biasa disebut sebagai muqallid, orang yang kerjanya hanya taklid melulu.

Dalam beberapa perkara, otoritas memang penting dan bahkan sangat diperlukan. Kita mesti hati-hati di sini. Kita mesti jeli memandangi persoalan-persoalan yang terkait dengan ini.

Coba tengok sejarah nabi. Abu Bakar digelari sebagai Ash Shiddiq hanya karena ia adalah orang pertama yang langsung percaya dan membenarkan cerita perjalanan Nabi dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsa dan ke Sidratul Muntaha. Tampak bahwa Abu Bakar membangun argumennya dengan otoritas kenabian.

Di lapangan ilmu pengetahuan, otoritas juga punya peran penting. Erwin Schrodinger pernah bikin buku kecil. Hanya buku saku saja. Ia beri judul buku itu, “What is Life?”. Buku itu berisi spekulasi dia tentang adanya penyusun dasar balok-balok kehidupan.

Erwin Schrodinger merupakan fisikawan yang mengajukan ide seperangkat set persamaan gelombang untuk menjelaskan deskripsi materi. Persamaan itu sukses dan diterima sebagai salah satu formalisasi untuk dunia mikroskopik. Ia menjadi satu dari sekitar 9 formalisme dalam teori kuantum.

Maka siapa yang meragukan kecemerlangan gagasannya? Buku sakunya, “What is Life?”, ternyata memicu migrasi para fisikawan ke ranah biologi. Hasilnya, muncullah biologi molekuler. Para biolog juga yakin bahwa ada satuan dasar kehidupan, DNA. Penemu pilin ganda DNA, Watson, dari dua serangkai Crick-Watson, merupakan seoarang fisikawan. Di sini, nyata sekali otoritas amat berperan penting.

Maka, kita mesti hati-hati.

Lima, berargumen dengan menyerang pribadi orang yang beragumen. Dalam argumentasi yang demikian, persoalan yang diteliti justru tidak lagi menjadi perhatian. Argumen-argumen yang hendak dibangun justru diarahkan untuk menyerang pribadi lawan bicara. Lazimnya, orang mengenal ini sebagai personal attack. Ini adalah sesat pikir argumentum ad hominem.

Misalnya, kita tidak mau berdiskusi hanya karena lawan bicara kita lebih muda.

Enam, membangun argumen untuk membangkitkan rasa belas kasih. Dalam argumen yang demikian, lawan bicara berusaha digiring untuk memiliki rasa kasihan terhadap kita sehingga tujuan atau keinginan kita bisa tercapai. Kesesatan ini merupakan jenis Argumentum ad misericordiam.

Dalam masyarakat kita, cara ini justru efektif untuk mempengaruhi massa. Sering terdengar suara, “Saya ini sudah capek-capek mengurusi negara. Saya sudah konsolidasi dengan aparat terkait. Saya sudah membujuk investor. Saya sudah berusaha menurunkan harga minyak. Tapi ternyata ada saja orang yang tak bisa menghargai kerja saya… dan seterusnya”

Cara-cara berpikir ngawur, fallacy atau sesat pikir ini ada banyak sekali. Masih ada kesalahan berpikir lainnya, macam ini, ingin menerapkan sesuatu yang telah berhasil di suatu daerah/orang kepada daerah-daerah lain (fallacy of composition). Ada juga penalaran yang melingkar-lingkar (circular reasoning), menggunakan kesimpulan untuk premis sehingga menuju pada kesimpulan semula.

Ada lagi argumen yang diajukan berupa ancaman agar menerima suatu pernyataan dengan alasan jika menolak akan berdampak buruk padanya (argumentum ad baculum). Ada juga yang berkesimpulan bahwa sesuatu itu tak ada sebab kita tidak mengetahui sesuatupun tentang hal itu (argumentum ad ignorantiam).

Masih ada analogi palsu, mencoba membandingkan satu idea dengan idea lain yang sesungguhnya tak ada hubungan sama sekali dengan idea yang hendak dibandingkan. Ada lagi pemikiran simplistis, membangun argumen dengan terlalu menyederhanakan persoalan, misalnya disederhanakan menjadi oposisi biner saja, hitam-putih, ini atau itu.
***

Logika tak semata milik peradaban Barat. Logika yang kita pahami umumnya merupakan logika Aristotelian. Hanya ada bivalensi, hitam atau putih, nol atau satu, benar atau salah, A atau bukan A.

Menurut Sardar dalam bukunya “Thomas Kuhn dan Perang ilmu”, dalam Hinduisme, logika bisa berlipat empat atau bahkan tujuh. Misalnya X bukan A dan bukan bukan A; bukan pula sekaligus A dan bukan A; bukan pula bukan A dan bukan bukan A.

Dalam logika Aristotelian, tak ada tempat buat semu atau abu-abu, perbauran di antara hitam dan putih. Ada logika samar (fuzzy logic) yang berusaha mengakomodasi perbauran ini. Di antara putih sampai hitam ada sekian banyak kemungkinan gradasi warna. Demikian pula membentang banyak sekali bilangan dari nol sampai dengan satu. Logika samar secara mudah dapat dipahami sperti kita memahami bahwa ada “orang baik tetapi ada cacatnya” dan “ada orang jahat tapi punya segi yang baik”. Senantiasa ada spektrum yang membentang di anatara dua kutub nilai tersebut.

Bagaimana dengan logika Islam? Sejauh ini saya memahami, hanya ada satu perkara saja, kebenaran. Hanya ada satu. Kesalahan hanyalah kebenaran yang tertutupi. Allahu Ta’ala A’lam.

***

Studi kasus. Periksa beberapa kasus berikut ini:
Saya memiliki selembar kartu pos. Pada salah satu sisi, tertulis sebuah kalimat, “Kalimat di balik kartu ini salah”. Ketika kartu pos ini dibalik pada sisi yang lain, ternyata tertera juga sebuah kalimat, “Kalimat di balik kartu ini benar”. Lalu, menurut logika kita, manakah sisi kartu yang pantas merupakan halaman pertama?

Siapapun pasti bersepakat bahwa sepotong singkong lebih baik daripada tidak ada sesuatu. Dan tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada kehidupan abadi. Oleh karena itu, tentu saja sepotong singkong lebih baik daripada kehidupan abadi. Ouh, betulkah surga hanya kalah dengan sepotong singkong?

Kepustakaan
  1. Hermanto, Arief. 1994. Filsafat dan Didaktik Fisika. Diktat pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
  2. Rakhmat, Jalauddin. 2000. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?. Cet. ke-2. Bandung. Remaja Rosdakarya.
  3. Sastradipoera, Komaruddin. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi, suatu pengantar teori dan kebijaksanaan ekonomi. Edisi 2. Bandung. Penerbit Kappa-Sigma
  4. Sardar, Ziauddin. 2002. Thomas Khun dan Perang ilmu. Cet 1. Yogyakarta. Penerbit Jendela
  5. Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer. Cet k3-18. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan


Kader HMI MIPA UGM, mahasiswa S2 Ilmu Fisika UGM

(Kayen-Yogyakarta, 19 Shafar 1432/24.01.2011)

No comments:

Post a Comment