Friday, April 15, 2011

Ilmu dan Visi Penelitian

Rachmad Resmiyanto
Ada seuntai kalimat berbahaya yang hendak saya kutip di sini. Kalimat itu punya bunyi begini, "hasil penelitian tidak akan banyak memberikan maslahat bagi masyarakat jika eksistensinya hanya dalam bentuk manuskrip." Masih ada lagi kalimatnya. "mengapa hasil peneltian kita hanya sekedar menjadi pajangan di rak-rak buku perpustakan atau rumah kita. atau paling banter dipubilkasikan dalam seminar/jurnal dan seditkit yang sampai ke hak paten, kalopun ada hak patennya, belum tentu mendatangkan royalti. IRONIS."

Kalimat ini hadir setelah sebelumnya ada sebuah cerita 2 profesor yang juga menjadi wiraniaga. Semuanya diceritakan di bawah sebuah judul yang indah, "agar hasil penelitian menjadi lebih maslahat". Saya sungguh terkejut. Sebuah kemanfaat ilmu ternyata dibicarakan dalam bingkai komersialisasi. Sebuah kemaslahatan ilmu ternyata dibincangkan dalam ranah barang dagangan.

Sampai sekarang, saya percaya, sejatinya ilmu pengetahuan dikembangkan demi 3 tujuan mulia. Pertama, ilmu dikembangkan sebagai salah satu jalan buat menuju Tuhan. Sayangnya, ketika tongkat estafet ilmu mulai hendak dipegang orang Barat, ilmu justru dikembangkan sebagai jalan untuk menjauhi Gereja. Dus, ini upaya untuk menjauhi Langit. Sekarang, seluruh dunia hampir-hampir dicengkeram oleh ilmu yang semacam ini. Bukan hanya ilmu humaniora, melainkan pula ilmu alam.

Kedua, ilmu dikembangkan demi ilmu itu sendiri. Ini merupakan idea Aristoteles. Segenap penelitian yang telah ditumbuhkembangkan dilakukan demi terus menyempurnakan bangunan ilmu pengetahuan. Ia tak akan peduli apakah penelitian itu akan dicecar sebab dianggap tak punya manfaat nyata yang dirasa saat itu. Pada wilayah ini, rasa "instan" terhadap penelitian bukanlah sebuah citarasa yang akan diraih. Ia punya tujuan yang melesat jauh dari sekedar itu. Ia hendak terus menyempurnakan bangunan keilmuan.

Saya hendak mengajak Anda pergi ke masa silam sebentar. Satu ketika, Michael Faraday (22 September 1791-25 Agustus 1867), orang yang hanya lulus SD dan mantan tukang jilid buku, melakukan demonstrasi hubungan listrik dan magnet di depan warga kota. Ini demonstrasi ilmiah yang tidak tanggung-tanggung.  Walikota turut hadir menyaksikannya. Seusai demonstrasi, Faraday mendapat pertanyaan yang penuh tenaga sekaligus cibiran dari sang walikota. "Kalau kita sudah tahu hubungannya, terus buat apa kita tahu semacam itu?".  Faraday memberi jawaban yang amat cerdas, "Saya juga belum tahu ini untuk apa. Inilah ilmu. Ilmu ini sekarang masih dalam tingkat awal. Seperti bayi manusia, kita juga tidak akan pernah tahu, kelak setelah ia dewasa, apakah ia akan menjadi manusia yang berguna atau tidak, tapi toh kita tetap mengasuhnya dengan baik tanpa perlu tahu ia kelak jadi apa. Demikianlah ilmu."

Maka, untaian kalimat ini, "hasil penelitian tidak akan banyak memberikan maslahat bagi masyarakat jika eksistensinya hanya dalam bentuk manuskrip." merupakan kalimat yang tidak berterima. Ketika abad ke-20 baru saja dimulai, para fisikawan terlibat dalam sebuah peperangan ilmu, saya menyebutnya sebagai perang fisika 3 dasawarsa. Perang itu dimulai tahun 1900 dan baru reda 1930-an. Pada masa peperangan itu, para fisikawan terlibat dalam konfrontasi gagasan fisika klasik dan gagasan baru fisika. Kelak, gagasan baru ini kemudian dikenal sebagai fisika modern. Sedikitpun tak ada bayangan, buat apa susah-susah menyempurnakan konsep-konsep fisika jika tak diketahui rimbanya bagaimana kelak lapak dagangan yang bisa digelar. Tapi, lihatlah. Perang 3 dasawarsa itu kemudian membawa manusia ke dalam era baru yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Saat tulisan ini bisa enak dibaca di layar, nikmat ini berasal dari pemuasan rasa ingin tahu pada perang 3 dasawarsa itu. Saya tidak bisa  membayangkan bagaimana jika para fisikawan itu tidak bekerja dalam manuskrip demi manuskrip. Seusai berpikir dan sesekali mengumbar khayalan, mereka menulis paper, dibawa ke seminar buat diperdebatkan. Ada yang pulang dengan segumpal rasa ingin tahu kemudian mencocokkan dengan data-data percobaannya. Ada pula yang meneruskan imajinasinya buat bikin sanggahan baru. Ada yang mengambil saripati idenya buat membabar fenomena lain yang belum terjelaskan. Semuanya, tentu saja, manuskrip demi manuskrip. Sekali lagi, manuskrip demi manuskrip, dan bukan manuskrip demi duit. [saya menulis kisah ini pada tautan berikut http://rachmadresmi.blogspot.com/2011/04/prasasti-runtuhnya-fisika-klasik.html ]

Ketiga, Ilmu dikembangkan buat kemaslahatan manusia. Dengan ilmu manusia bukan hanya dapat menjelaskan suatu peristiwa, melainkan juga dapat meramalkan sesuatu dan melakukan pengendalian. Sayangnya, ketika Barat mulai menapaki masa yang mereka menyebutnya masa pencerahan, sifat genetik Barat yang suka menjajah, membuat ilmu digunakan manusia demi kebermanfaatan manusia semata, tanpa melihat bangunan utuh manusia hidup bersama alam. Barangkali, ini dapat kita sematkan pada idea Bacon tentang ilmu.

Sesungguhnnya, pandangan-pandangan kuno tentang ilmu amat berbeda dengan pandangan manusia sekarang yang terhegemoni dalam kuasa ilmu Barat. Sejauh literatur yang saya baca, pandangan kuno menyebut bahwa ilmu dikembangkan untuk kearifan manusia hidup bersama alam. Sekarang, ilmu kita kembangkan dalam kerangka manusia hidup di alam.

Pandangan bahwa "manusia hidup bersama alam" dan "manusia hidup di alam" punya implikasi yang serius berbeda. Saya hendak menyampaikan, kita perlu berhati-hati dengan segenap ilmu kita. Ada pandangan dunia, seperangkat keyakinan, atau juga ideologi yang dengan sangat lembut menyusup dalam bangunan ilmu kita, seperti udara yang begitu piawai menyusup ke segala macam benda.

Maka, jangan kaget jika sekarang kita dituntut dengan paten. Susah payah mengembangkan ilmu, ujung-ujungnya kita diminta menggelar lapak barang dagangan. Saya jadi ingat sebuah kisah lucu, seorang biduanita di negeri kita pernah bikin paten atas namanya untuk penyebutan uniknya atas sebuah keluhan, "pusing". Tentu saja, maksud dipatenkannya adalah agar ia mengeruk untung jika ada orang lain menggunakan penyebutan itu. Saya tak tahu, bagaimana kelanjutannya, apakah ia benar-benar meraup rupiah dengan dagangan "pusing"-nya atau tidak. Aih aih, saya tak habis pikir, sebuah keluhan ternyata juga bisa jadi duit.

Bagi saya, wujud paten merupakan akibat ketika ideologi niaga menyusup ke wilayah keilmuan, sebuah ranah yang disucikan dalam peta kosmologi keilmuan Islam. Imam Waqi' pernah memberi tausiyah pada muridnya, Imam Syafi'i, "Ilmu itu cahaya".

Mari bandingkan paten dengan upaya rujukan (sitasi). Dalam paten, orang yang  hendak menggunakan ide atau hasil karya itu akan dikenakan semacam "upeti" buat pemilik paten. Upeti ini merupakan tanda balas jasa. Upeti, dalam khasanah kisah para raja, merupakan bukti kepatuhan dan ketundukan pada sang raja. Dalam sebuah paper ilmiah, ketika orang hendak menggunakan ide orang lain, ia cukup melakukan kutipan dan dirujuknya paper orang lain itu dalam daftar kepustakaan. Inilah tanda balas jasanya. Para pemilik paten, bisa jadi, ia dapat menghasilkan karya patennya itu sebab ia telah membaca serangkaian hasil penelitian orang lain yang telah bekerja keras lebih dulu. Tentu saja, pemilik paten itu gratis mendapatkan gagasan dari hasil penelitian pendahulunya. Tapi, ketika orang setelahnya hendak memanfaatkan hasil patennya, maka orang itu tak lagi gratis. Pada satu titik kelak, barangkali paten benar-benar akan "mateni" mata rantai keilmuan kita.

Saya terkesima dengan ujaran Imam Waqi' ini, bahwa ilmu merupakan cahaya. Ada kandungan spiritualitas dalam ilmu. Maka, selayaknya, segenap orang yang telah mentahbiskan diri untuk turut barisan orang-orang yang membawa cahaya ini senantiasa terus memperbaiki niat. Demikian pula saya. Ini sangat penting. Sedemikian pentingnya hingga  Imam Nawawi menempatkan nasihat suci Nabi tentang niat ini buat membuka kitabnya, Hadits Arba'in.  Segenap puji untuk Allah Yang Maha Tinggi.

Barakallahu fiik.

Kampus 3 sayap utara
Warungboto, 12 Jumadil 'Ula  1432/16.04.2011
[untuk milis dosen uad]

No comments:

Post a Comment