Monday, April 11, 2011

Prasasti Runtuhnya Fisika Klasik

Oleh Rachmad Resmiyanto

Fisika klasik memiliki 6 anggapan dasar. Kala itu, bangunan fisika semuanya ditegakkan di atas 6 pondasi ini. Segala hal yang ditemui di alam nyata selalu dikembalikan dan berusaha dijelaskan dengan berdasarkan apada anggapan tersebut. Segala teori dan perkiraan yang menyelisihi anggapan ini dengan segera akan diremehkan, ditentang dan akhirnya bisa jadi juga ditendang dari panggung fisika. Anggapan-anggapan ini adalah:
  1. Reduksionisme. Alam semesta mirip mesin raksasa dalam ruang-waktu mutlak. Gerakan rumit dipandang sebagai gerakan sederhana dari bagian2 penyusunnya, sekalipun bagian-bagaian tersebut tidak bisa dilukiskan.
  2. Kausalitas. Hukum Newton menyimpulkan tiap gerak selalu punya sebab. Jika suatu benda bergerak, kita selalu bisa mencari penyebabnya. Ini sebab akibat yang tidak lagi dipertanyakan lagi.
  3. Determinisme. Jika sekarang diketahui keadaan gerak suatu partikel, maka gerakannya dapat diketahui juga pada sebarang titik di masa depan dan masa lalu.
  4. Cahaya sebagai gelombang. Sifat-sifat cahaya bisa dilukiskan secara lengkap dengan teori gelombang elektromagnetika Maxwell (dibuktikan Thomas Young 1802, interferensi celah ganda)
  5. Partikel vs gelombang. Energi yang bergerak dapat dilukiskan dalam 2 model: partikel, gelombang. Keduanya terpisah.
  6. Pengukuran yang teliti. Sifat sistem dapat diukur dengan ketelitian tak terbatas, termasuk sistem atomik.



Para fisikawan meyakini kebenaran, kesahihan dan kehandalan semua anggapan tadi. Anggapan ini diyakini secara mutlak. Anggapan ini juga menjadi tolok ukur apakah sebuah pendapat baru dalam fisika akan diterima atau tidak. Tiap kali ada pendapat baru yang beda dengan anggapan ini, pendapat baru itu akan menjadi pandangan minor, dianggap menyimpang. Namun, setelah mengalami perang fisika selama hampir tiga dasawarsa, 1900-1930, para fisikawan akhirnya meragukan anggapan tersebut. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah konferensi terbatas para fisikawan sekira 29 orang saja, di sebuah hotel di kota Brussel Belgia, Hotel Metropole, 24 Oktober 1927.



[BARIS BELAKANG] A P, Émile Henriot, Paul Ehrenfest, Édouard Herzen, Théophile de Donder, Erwin Schrödinger (1887-1961: 44 th), J-ÉVerschaffelt, Wolfgang Pauli (1900-1958: 27 th), Werner Heisenberg (1902-1976: 25 th), Ralph HF, Léon Brillouin,

[BARIS TENGAH] Peter Debye, M Knudsen, William Lawrence Bragg, HA Kramers, Paul Dirac (1902-1984: 25 th), Arthur Compton, Louis de Broglie (1892-1987: 35 th), Max Born (1882-1970: 45 th), Niels Bohr (1885-1962: 42 th),

[BARIS DEPAN] I Langmuir, Max Planck (1858-1947: 69 th), Marie Curie (1867-1934: 60 th), Hendrik Lorentz, Albert Einstein (1879-1955: 48 th), Paul Langevin, CE Guye, CTR Wilson, O W Richardson


Pertemuan terbatas para fisikawan itu dikenal sebagai Konferensi Solvay yang kelima. Topik utama yang dibahas adalah elektron dan foton. Empat konferensi Solvay sebelumnya membahas teori radiasi dan kuanta (1911), struktur materi (1913), atom dan elektron (1921), konduktivitas listrik logam dan masalah diseputarnya (1924). Seluruh konferensi Solvay tersebut diketuai oleh Hendrik Lorentz, seorang fisikawan dari  Leiden,  Negeri Belanda. Konferensi Solvay yang terakhir diselengarakan pada tahun 2008. Ini konferensi Solvay yang ke-24. Ia membahas teori kuantum untuk material mampat, diketuai oleh Bertrand Halperin, seorang fisikawan Harvard.

Lima konferensi Solvay yang pertama merupakan pertemuan paling penting bagi perkembangan fisika abad ke-20. Nama konferensi ini, Solvay, merujuk nama seorang praktisi industri dari Belgia, Ernest Solvay (1838-1922). Meski Solvay praktisi industri, tapi ia ramah dan punya kepedualian besar pada perkembangan ilmu dasar macam fisika dan kimia. Ia yang memberikan sponsor buat terselenggaranya pertemuan-pertemuan itu. Konferensi Solvay untuk bidang kimia pertama kalinya diselenggarakan pada 1922. Solvay, orang kaya yang tidak pelit terhadap perkembangan ilmu.


Dalam konferensi Solvay yang paling fenomenal itu, fisikwan yang paling tua adalah Max Planck (1858-1947). Kala itu usianya sudah hampir berkepala 7, 69 tahun. Sementara fisikawan yang paling belia adalah Werner Heisenberg (1902-1976) dan Paul Dirac (1902-1984). Keduanya baru saja menginjak usia 25 tahun. Dari seluruh 29 fisikawan, ada satu fisikawan yang jelita. Ia adalah Marie Curie (1867-1934), usia 60 tahun.



Konferensi Solvay sangat fenomenal. Ia dihadiri oleh 9 begawan fisika kuantum yang semuanya mendapat anugerah nobel fisika. Ini adalah peristiwa langka. Pada konferensi inilah, perdebatan bersejarah antara Bohr dan Einstein berlangsung. Einstein merupakan penganut keyakinan bahwa alam ini indah secara matematis. Keyakinan ini punya akar pada perdaban Yunani. Phytagoras dari Samos pernah bilang, segenap alam adalah bilangan. Di sini, Einstein menyanggah tafsiran Bohr. Dunia kuantum yang dipahami ala Bohr kemudian dikenal sebagai madzhab Kopenhagen. Eintein tak sependapat dengan itu. Katanya, "Tuhan tak bermain dadu di alam semesta ini".

Hari Ahad, 27 Oktober 1927, seusai sesi pemotretan, mereka pulang dengan memendam perdebatan bersejarah antara Einstein dan Bohr. Heisenberg dan Bohr pulang ke kota Copenhagen, Denmark. Dirac balik ke Cambridge, Inggris. Pangeran de Broglie kembali ke Paris, Perancis. Pauli ke kota Zurich, Swiss. Sedangkan Einstein, Planck, Schrodinger ke Berlin dan Max Born ke Goettingen, semuanya di Jerman.  Mereka mengemban gagasan paling menakjubkan yang pernah dibuat para ilmuwan. Seusai perang fisika 3 dasawarsa, konferensi Solvay 1927 kemudian menjadi penanda runtuhnya fisika klasik. Konferensi Solvay 1927 telah menjadi prasasti.

Warungboto Yogya, Selasa, 08 Jumadil 'Ula 1432 H/11 April 2011

No comments:

Post a Comment