Oleh Rachmad Resmiyanto
Apabila tak salah mengingat angka tahun, pada bulan pertama 2004, saya turut duduk dalam halaqah sejarah Ahmad Mansur Suryanegara. Ia sejarawan Universitas Pajajaran Bandung. Siang itu, ia menyampaikan tafsir atas peristiwa-peristiwa besar. Salah satu kisahnya perang Aceh. Suryanegara mengungkapkan serdadu Belanda sangat kewalahan menghadapi perlawanan sabil Cut Nyak Din. Perempuan ini telah bikin Belanda rugi besar . Banyak serdadu yang mati. Ironi, beberapa perwira tinggi yang terlatih dalam kemiliteran tersungkur mati dalam kekafiran. Mereka mati di tangan perempuan bersahaja yang tak pernah belajar siasat perang.
“Jika perempuan yang lembut telah marah maka air mata dan kemarahannya akan menjadi petaka”, demikian yang saya ingat dari Suryanegara.
Hari itu saya menyimak kisah-kisah yang ia bawakan. Ada banyak cerita. Salah satunya perang Aceh itu. Ini merupakan perang sabil Kesultanan Aceh dan seganap rakyatnya melawan kafir Belanda. Saya menyimaknya di Masjid IAIN Sunan Kalijaga yang ramai dengan ornamen salib sumbu. Saya tak tahu siapa arsiteknya.
Cut Nyak Din tak pernah latihan perang. Ia menikah dalam usia yang amat belia, 12 tahun. Ia hanya dididik ilmu agama dan ilmu rumah tangga. Perempuan ini tak ada bekal ilmu militer.
Pada 1873, Kohler, seorang panglima Belanda, membakar masjid raya Baiturrahman. Cut Nyak Din mengobarkan semangat perang sabil pada rakyat Aceh.
“Lihatlah wahai orang-orang Aceh! Tempat ibadat kita dirusak! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?”
Cut Nyak Din pernah bikin ikrarpada saat kematian suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, tahun 1875. Ia bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Dalam masa jandanya, datang lamaran Teuku Umar. Cut Nyak Din buat syarat, ia ikut berperang melawan Belanda. Teuku Umar sepakat.
Ketika Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh 1899, Cut Nyak Din nampak begitu ksatria. Tatkala putrinya, Cut Gambang, mendengar kabar, Ia tampar pipi putri, kemudian dipeluknya.
“Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh berurai air mata untuk orang yang sudah syahid”.
Siapa yang tak haru biru mendengar cerita macam begini? Kisah Cut Nyak Din adalah kisah ibu rumah tangga yang tiba-tiba jadi singa di medan laga. Ketangguhan perempuan ternyata tersimpan rapat dalam kelembutannya.
Salam takzim buat para ibu.
Kayen Yogyakarta, 17 Muharram 1432 H/ 23.12.2010
No comments:
Post a Comment