Friday, December 17, 2010

Reuni Kecil di Kota Tumpah Darah

Oleh Rachmad Resmiyanto



Mulanya, Nunik Eka Sari berkirim pesan lewat dinding Facebook Monica Kartini. Ia menulis sebuah ajakan, tanggal 5 Desember 2010, bertemu di Klaten. Nunik tinggal di Jakarta, Monika berada di Klaten. Pesan itu ditembuskan ke beberapa nama. Ada Arief Boncu, Fitriyani Utami, Rosyied Arie, Arif Kurniawan Dwi Haryadi dan aku. Tujuh nama kemudian disusulkan dalam pesan-pesan berikutnya. Ada Fitri Luh Wulandari, Muhammad Fuad Hamzah, Barra Hananta Suthan, Tri Muryati, Henny Cahyaningsih, Desy Puspa dan Nugraheni Sri Windarti.


Kami saling berteman semasa SMA. Jaman sekolah di SMA N 1 Klaten kala itu, tiap tingkat kelas terdiri dari 9 kelas paralel. Untuk kelas 1, ada 10 kelas paralel. Satu kelas diisi 48 anak. Tiap kelas dinamai sesuai urutan abjad latin, kelas 1A, 1B, sampai 1J. Kami semua bertemu ketika kelas satu. Kelas kami berada di urutan paling buncit, kelas 1J.

Ada banyak cerita di kelas satu. Pertemuan ini adalah reuni kecil kami. Setelah satu dasawarsa tak bersua, kami bikin acara kecil untuk bertemu di tanah tumpah darah, Klaten.

Kabupaten Klaten diapit oleh 2 pusat kebudayaan Jawa, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kasunanan Surakarta merupakan penerus kerajaan Mataram Islam. Pada abad ke-18, Pangeran Mangkubumi melancarkan perjuangan terhadap Kasunanan. Ia protes atas sikap Kasunanan yang berkawan dengan Belanda. Pangeran Mangkubumi mendapat simpati rakyat. Karena kewalahan, Pangeran Mangkubumi diajak berdamai di daerah Gianti dan dijanjikan tanah merdeka. Di tanah itulah ia mendirikan kerajaan, Kasultanan Yogyakarta. Di Surakarta, raja punya gelar Susuhunan Paku Buwana. Di Yogyakarta, raja bergelar Sultan Hamengku Buwana. Klaten berada ditengah 2 kerajaan ini.

Di Klaten berdiri candi Hindu terbesar di Asia Tenggara, namanya Candi Prambanan. Candi ini cantik sekali. Dinasti Sanjaya, penguasa Kerajaan Mataram kuno abad ke-9, membangun candi ini. Suatu ketika, aku pernah bertanya pada seorang pelancong dari mancanegara. Ia lebih menyukai candi ini ketimbang candi Borobudur. Katanya, candi Prambanan sangat eksotik. Suasana yang paling indah buat menikmati candi ini adalah ketika pagi dan senja hari.

Pernah dengar frasa jaman edan? Frasa ini diperkenalkan oleh seorang pujangga Jawa, Rangga Warsita. Ia adalah pujangga besar terakhir di tanah Jawa. Rangga Warsita menjadi pujangga Kasunanan Surakarta. Jasadnya disemayamkan di Trucuk Klaten. Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid pernah berkunjung ke sini.

Raden Ngabehi Rangga Warsita merupakan cucu Yasadipura II. Ayahnya, Mas Pajangswara disiksa Belanda sampai mati. Ayahnya merupakan juru tulis Paku Buwana VI yang mendukung Perang Sabil Diponegara. Mas Pajangswara disiksa buat membongkar hubungan Paku Buwana VI dan Diponegara. Mas Pajangswara tetap diam hingga mati. Belanda lantas membuang Paku Buwana VI ke Ambon.

Rangga Warsita dikenal sangat piawai dalam sastra. Ia banyak menulis kitab sastra berbahasa Jawa, bentuknya tembang, biasa disebut serat. Dalam Serat Jaka Lodhang, Rangga Warsita menulis tentang kemerdekaan negeri ini dalam formula suryasengkala. Ia menulis Wiku Sapta Ngesthi Janma. Ini merupakan sebuah sandi, angkanya 7-7-8-1, dibaca sebagai 1877 Tahun Saka. Tahun itu dalam almanak syamsiah punya angka 1945. Dalam serat Sabdajati, ia menulis tanggal kematiannya sendiri, 24 Desember 1873. Ia meninggal tepat pada hari itu. Rangga Warsita berguru agama pada Kiai Imam Besari dari Ponorogo.

Klaten juga punya sejarah wali sanga. Sunan Kalijaga, seorang wali sanga yang amat masyhur di hati rakyat, punya murid di tanah ini. Ia berjejuluk Sunan Pandanaran. Ia berada di daerah Bayat, acapkali ia dikenal sebagai Sunan Tembayat. Awalnya ia adalah Bupati Semarang yang rakus harta. Sunan Kalijaga dengan segenap kearifannya bikin bupati ini sadar akan hidup yang sejati. Di Bayat, Sunan Pandanaran berguru agama dan kesejatian hidup pada Sunan Kalijaga. Sunan Pandanaran dimakamkan di bukit Jabalkat, bukit tertinggi di daerah itu. Semasa sekolah dasar aku pernah naik ke sana. Suasananya indah sekali.


Sebelum kemerdekaan, Klaten adalah daerah swapraja Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tanah daerah ini sangat subur. Konon, kata Klaten berasal dari kata kelathi yang maknanya buah bibir. Ia menjadi buah bibir karena kesuburannya. Daerah Delanggu terkenal akan berasnya. Acapkali Klaten juga disebut sebagai salah satu lumbung beras. Ada pula yang bilang, kata Klaten berasal dari kata Melati, diambil dari nama Kiai Melati Sekolekan, seorang tetua yang pertama kali babat alas di tanah ini, sekira 600 tahun lalu.

Klaten adalah tanah tumpah darah. Di tanah inilah, darah kami tertumpah untuk pertama kalinya. Kami semua yang pernah berteman semasa SMA, rindu dengan kota kami dengan segenap cerita masa lalu kami semasa SMA.

Sore itu, kami jadi bertemu. Nunik mengajak makan di saung Banyu Urip. Ketika kami masih berseragam abu-abu, Banyu Urip masih berupa hamparan sawah. Awalnya, Nunik kira Banyu Urip adalah air terjun. Dari Jakarta, Nunik berseru di Facebook, “Sumpah ya, pertama kali denger aku pikir itu air terjun baru di sekitar Klaten or Solo or Jogja, atau sungai or pemandian, eh ternyataaaaaaa, itu tempat makan! Aneh banget jenenge, menipuku, huh!”. Itu juga kali pertama buatku ke saung Banyu Urip.

Reuni kecil di Banyu Urip adalah reuni 1J SMA N 1 Klaten. Monika Kartini bawa anak lelakinya, Aksel. Bocah itu sangat aktif. Sepanjang pertemuan ia tak pernah mau diam. Baju gantinya sampai habis. Dimana-mana, anak kecil memang suka usil. Aksel punya rasa ingin tahu yang besar. Tiba-tiba, ia memasukkan tangannya ke gelas minuman. Gelas itu diobok-obok. Monika cukup sabar dengan tingkah Aksel. Ia telaten sekali merawat anaknya. Monika adalah perawat lulusan Gadjah Mada. Ketika SMA, Monika anak pendiam, nyata bedanya dengan anaknya.

Kedatangan Nunik ternyata juga buat menghadiri pernikahan Rita Lusiana Hapsari, teman sekelas 1J juga. Sebelum ke saung, Nunik, Desi, Fitri Luh, dan suami Desi pergi ke tempat Rita. Ketika aku sampai di saung, mereka sudah duduk, pesan makanan dan berbagi cerita dan canda. Monika juga sudah ada.

Rasanya kikuk begitu tahu aku adalah satu-satunya lelaki sekelas yang ada. Semua sudah pesan makanan. Aku memesan nasi goreng udang asin dan wedang uwuh.

Selesai makan, Muhammad Fuad Hamzah datang. Ia punya perawakan yang besar. Ia datang ke reuni bersama istrinya. Anak lelakinya sedang tidur di rumah. Fuad menikahi kawan kuliahnya di Fakultas Hukum UNS. Fuad bekerja di Jakarta. Sekali dua pekan ia pulang ke Klaten menjenguk istri dan anaknya.

Aku pernah sebangku dengan Fuad. Bangku kelas menghadap ke utara.Bangku kelas di susun 4 lajur. Ketika sebangku dengan Fuad, kami duduk di bangku paling belakang, lajur nomor 2 dari timur. Aku duduk di sebelah kanan.

Fuad pernah sakit matanya gara-gara minuman berkarbonasi Coca-Cola. Ia kena semburan cairan Coca-Cola. Begitu tutup botol Coca-Cola dibuka, isinya menyembur deras ke atas. Mata Fuad kena semburannya. Ini terjadi pada pesta perayaan ulang tahun sekolah.

SMA Negeri 1 Klaten berdiri pada 5 November 1957. Awalnya bernama SMA Persiapan. Salah satu tokoh yang membidani lahirnya sekolah ini adalah Mochtar, Bupati Klaten masa itu. Pada 1965, SMA N 1 dipecah menjadi 2 sekolah, SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Klaten. Sesuai kebijakan pemerintah, pada 1994, SMA N 1 Klaten berganti nama menjadi SMU Negeri 1 Klaten. Tahun itu pula, Kanwildikbud Jateng menunjuk SMU Negeri 1 Klaten sebagai sekolah unggulan. Aku dan teman-teman masuk sekolah angkatan 1997, ketika nama SMA sudah diganti SMU. Semasa bersekolah, ada 2 kepala sekolah yang pernah memimpin, Drs. Suhardi dan Drs. H. Achmadi. Kami lulus tahun 2000, dalam ijazah ada tanda tangan Drs. H. Achmadi.

Kedatangan Fuad menambah suasana reuni jadi riuh. Ia masih suka bertengkar dengan Nunik. Seolah masih remaja saja. Mengulangi bertengkar ala anak-anak setelah 10 tahun tak bertemu sepertinya asyik juga.

Di saung Banyu Urip kami berbincang kesana-kemari, membincangkan apa saja yang menarik. Sesekali juga memutar pita rekaman bagaimana suasana di kelas dahulu.

“Kamu masih ingat bagaimana Pak Sigit Sugiman suka memanggil namaku?”, tanya Nunik kepadaku

“Nama lengkapmu kan, Nunik Eka Sari”, aku mencoba mengingat 10 tahun silam ketika belajar Bahasa Indonesia.

“Salah. Pak Sigit selalu memanggilku dengan Nunik Eka.”, kata Nunik.

Nunik pakai peniti berlambang burung Garuda. Katanya itu pemberian Menpora. Keren juga dia.

Laksmi Mahardika datang sesudah Fuad. Suaranya kecil dan halus. Laksmi punya rambut yang lurus terurai. Fitri Luh nyeletuk, "Ih, non, kok sekarang mirip Luna Maya...". Sambil sedikit ketawa, Laksmi menimpali, "Aduh, kalau sekarang jangan bandingin aku dengannya dong". Rupanya Laksmi malu disamakan dengan artis itu. Sejak pertengahan Mei 2010, ramai sekali media bicara tentang dugaan video asusila yang diperankan Luna Maya. Laksmi tak mau disamakan dengannya.

Menjelang Maghrib, makan sudah selesai. Henny masih di rumah. Kabarnya, ia sedang menyiapkan hajatan. Ia kirim SMS, minta ditunggu.

Sesorean kami mengobrol di Saung Banyu Urip. Kami shalat Ashar dan shalat Maghrib di sana. Ada banyak gubug kecil. Tempat kami bernama Srikaya. Di depannya ada kolam. Aku melihat ada rakit bambu di kolam. Seorang bapak dan anaknya naik rakit itu.

Senja itu, Ahad 5 Desember 2010, adalah senja pertama setelah satu dasarwarsa. Semua telah nampak dewasa. Nugraheni kerja di Semarang, Desy di Cepu, Nunik dan Fuad di Jakarta dan aku di Yogyakarta. Henny dan Fitri Luh bersetia di Klaten. Sementara Monika menjadi dosen sebuah akper di kota Temanggung. Selepas tamat dari Gadjah Mada, Monika sekolah lagi ke Charles Darwin University. Senja itu kami semua bahagia.

Tiga hari kemudian, pada sebuah senja, ketika aku di stasiun Tugu Yogya, ada SMS masuk. Aku baca perlahan. “Aku udah naik kereta, pulang Jakarta :-( Terimakasih atas waktu kalian untuk saling bertemu. InsyaAllah bisa ketemu lagi ya nanti :-) Viva jijeyers forever” SMS itu dikirim oleh Nunik.

Paginya, Kamis 9 Desember 2010, aku dapat SMS lagi. “Sekilas info: saya sudah sampai rumah dengan selamat, gembira dan sedikit pegel-pegel. Terimakasih atas waktu dan kenangan jijeyers setelah 12 tahun lebih gak ketemu. Terimakasih banyak-banyak :-D” Nunik kirim SMS lagi buatku.

Nunik sudah sampai Jakarta. Nugraheni sudah ke Semarang. Fuad juga sudah ke Jakarta. Kami semua berpisah kembali. Seraut kenangan 1J di kota tumpah darah tetap tersimpan di hati kami.

Sawit Sari, 12 Muharram 1432 H/ 18.12.2010

No comments:

Post a Comment