Tuesday, September 28, 2010

Tiga Zainab dalam Hidup Nabi

Oleh Rachmad Resmiyanto

Zainab merupakan nama-nama perempuan yang penuh dengan barakah. Ada tiga Zainab dalam hidup Nabi shallallahu 'alaihu wa sallam.

Ada Zainab binti Khuzaimah radhiallahu 'anha, ibu kaum mukminin yang masyhur sebagai bunda orang-orang miskin (Ummul Masakin). Zainab lah, satu-satunya istri Nabi selain Khadijah yang meninggal semasa Nabi masih hidup. Zainab lah yang pertama kali dimakamkan di Baqi’.



Ada juga Zainab binti Jahsy radhiallahu 'anha, istri Nabi yang paling banyak sedekahnya. Zainab bikin kerajinan, menyamak dan menjahit kulit lalu menjualnya di pasar dan hasilnya ia sedekahkan kepada fakir miskin. Meski ia perempuan yang jelita dan berdarah ningrat, ia tak silau dengan harta. Suatu ketika, Khalifah Umar ibn Khattab mengirim santunan Baitul Mal kepadanya. Zainab langsung berseru, “Ya Allah, janganlah harta ini menjadi penyebab fitnah bagiku”. Zainab segera membagi seluruh uang itu kepada kaum fakir miskin. Ketika seluruh istri Nabi berkumpul dan menanyakan siapa yang paling cepat menyusulnya, Nabi bersabda yang paling panjang tangannya.  Zainab lah yang pertama kali menyusul kepergian Nabi.

Zainab selalu berbangga sebab ia satu-satunya istri yang dinikahkan langsung dari langit. Pernikahan sebelumnya dengan Zaid ibn Haritsah, seorang budak yang lantas diangkat sebagai anak oleh Nabi, juga atas wahyu dari langit. Jika engkau mencari seorang perempuan yang menikah dengan lelaki agung dan dinikahkan langsung oleh Penguasa alam semesta ini, Zainab lah perempuan itu.

Masih ada Zainab dalam hidup Nabi, ia adalah Zainab binti Muhammad radhiallahu 'anha, putri tertuanya, buah pernikahannya dengan Bunda Khadijah radhiallahu 'anha. Zainab kecil sudah dilatih Khadijah untuk mengasuh Fathimah Az Zahra radhiallahu 'anha. Zainab merupakan mutiara bagi suaminya, Abul Ash ibn Rabi’. Sosoknya merupakan cermin seorang istri yang begitu setia dalam berkhidmat bagi suaminya.

Ketika Zainab menyampaikan bahwa ayahnya mendapat wahyu kenabian, Abul Ash mengingkarinya. Abul Ash mengakui bahwa Muhammad, ayah mertuanya, merupakan orang yang  tidak pantas diingkari, tetapi alasan nenek moyangnya lebih ia utamakan untuk menolak risalah kenabian.

Sampailah pada perang Badar. Abul Ash ikut berperang di  barisan kaum musyrikin memerangi ayah mertuanya sendiri. Bayangkan betapa galau hati Zainab saat itu. Ia harap-harap cemas keselamatan ayahnya. Pada saat yang sama, ia juga gundah dengan nyawa sang suami yang memerangi ayahnya. Akhirnya datanglah kabar 70 orang musyrikin tertawan, Abul Ash salah satunya. Dan siapa yang menebusnya? Zainab sang istri. Demikianlah bakti Zainab pada suaminya.

Dari Makkah, Zainab mengirim sejumlah harta tebusan dan sebuah kalung  dari batu Onyx Zafar. Ini kalung yang tak biasa. Kalung itu merupakan hadiah pernikahan dari sang ibunda, Khadijah. Ketika Nabi melihat kalung itu, ingatannya melayang ke cinta sejatinya, Khadijah. Nabi berseru pada kaum muslimin, jika mereka setuju Nabi meminta Abul Ash dibebaskan dan kalung itu dikembalikan ke Zainab.
Kembalinya Abul Ash dalam dekapan Zainab ternyata juga membawa kabar dari Nabi bahwa iman telah memisahkan mereka. Iman telah menjadi batas hubungan suami istri itu. Zainab diminta berhijrah ke Madinah oleh Nabi. Kala itu Zainab sedang mengandung buah cinta dengan Abul Ash dan kelak ia keguguran ketika jatuh dari untanya. Keduanya, Zainab dan Abul Ash, berpisah dengan gerimis air mata. Demikianlah bakti Zainab pada agamanya.

Beberapa waktu sebelum Fathul Makkah, Abul Ash memimpin kafilah dagang dari Syam. Lagi-lagi, seluruh hartanya disita kaum muslimin. Ketika malam merayap, Abul Ash diam-diam menemui Zainab di Madinah dan meminta Zainab untuk memberi perlindungan. Zainab menyanggupi. Zainab berseru di balik dinding ketika Rasul dan kaum muslimin berdiri shalat Subuh. “Wahai kaum muslimin, Abul Ash berada dalam perlindungan Zainab”.  Abul Ash dan hartanya selamat. Inilah titik balik itu. Sepulang ke Makkah dan menunaikan amanat orang-orang Quraisy, Abul Ash berseru dan berikrar syahadat.

Abul Ash menyusul belahan jiwanya, Zainab, ke Madinah. Setelah 6 tahun berpisah karena iman yang beda, Abul  Ash dan Zainab kembali bersatu cintanya. Cinta Zainab akhirnya tergenapkan. Kerinduannya akan iman di dada suaminya terpenuhi. Dan tak lama berselang, setahun kemudian wafatlah Zainab.

Cinta Abul Ash menyebabkan tangisannya begitu menyayat sehingga orang yang mendengarnya juga ikut menangis.  Usai dimandikan, Nabi bersabda, “Kafanilah ia dengan kain ini”.

Dalam perjalanan ke Syam, Abul Ash mengenang, ''Puteri Al-Amiin, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan setiap suami akan memuji sesuai dengan yang diketahuinya.'' Demikianlah ridha suami dibawa serta oleh Zainab.  Inilah Zainab, putri pemimpin para Nabi.

Zainab merupakan nama-nama perempuan yang penuh dengan barakah. Ada Zainab yang menjadi bunda orang-orang miskin. Ada Zainab yang sangat ringan dalam bersedekah. Ada Zainab yang begitu khidmat dalam taatnya pada suami dan agama. Ada tiga Zainab dalam hidup Nabi.

Pogung Lor – Yogyakarta, 21 Ramadhan 1431 H/ 31 Agustus 2010
[diunggah dari Hotel "Villa Taman Eden 1" Kaliurang tanggal 19 Syawal 1431 H/ 28 September 2010]

No comments:

Post a Comment