Rachmad Resmiyanto
Selain menunjukkan bahwa gagasan-gagasannya banyak diilhami oleh fisika, karya Adam Smith The History of Astronomy juga menunjukkan ada tumpang tindih yang tak terduga dengan Thomas Kuhn mengenai konsep paradigma (De Liso dan Filatrella, 2001, hlm. 5-8). Merujuk pada pendapat Skinner dan Loasby, Smith merupakan perintis konsep paradigma di ekonomi (De Liso dan Filatrella, 2001) sebagaimana Kuhn di fisika (Capra, 2001).
Ternyata tidak hanya Smith yang tertarik dengan metode-metode dalam fisika. Ada sederetan ekonom yang menyusul jejak Smith, seperti Jevons, Walras, Marshall, Stigler, Kim, Lux dan pemenang anugerah nobel ekonomi 1990 Harry Markowitz. Marshall dengan adikaryanya The Principle of Economics 1890 telah mengubah ilmu ekonomi politik (political economy) menjadi ekonomi (economics) dengan model- model yang bersifat matematis. Adikarya Marshall ini dianggap sebagai tonggak kelahiran madzhab neo-klasik (Mubyarto, 1987). Sebelumnya, Jevons dan Walras telah mempeloporinya pada 1860-an.
Penetrasi model-model matematis ke dalam ilmu ekonomi saat itu dilakukan melalui fisika dan menempatkan fisika sebagai tolok ukur (benchmark) (De Liso dan Filatrella, 2001). Sedangkan Stigler yang berasal dari Perguruan Ekonomi Chicago memaklumkan simulasi Monte Carlo yang diterapkan untuk menelisik pasar pada tahun 1964. Kim dan Markowitz mencoba membuat model kejatuhan Wall Street 1987 yang mirip dengan model yang digunakan fisikawan. Dan penelitian Lux berdasar pada hasil kerja para fisikawan, seperti misalnya Haken (Stauffer, 2000).
Ekonomi merupakan disiplin tentang perilaku manusia yang berhubungan dengan manajemen sumberdaya, keuangan, pendapatan, produksi dan konsumsi barang- barang dan jasa (Wang et al., 2005). Sehingga ekonomi biasanya diidentikkan dengan ilmu sosial. Namun dalam beberapa hal, hukum-hukum ekonomi menunjukkan keserupaan dengan ilmu alam. Meskipun ekonomi berkepentingan dengan motivasi dan keputusan manusia, namun seringkali perilaku kolektif dapat diterangkan dengan proses yang tertentu, setidaknya dengan cara statistik. Dagun (1992, hlm. 265) menguatkan bahwa aktivitas bebas manusia tidak semata-mata merupakan akibat kehendak bebas tetapi muncul dari motif-motif. Maka, motif-motif inilah yang memungkinkan untuk diterapkannya statistik.
Mengingat ekonomi selama ini dimasukkan dalam ranah ilmu sosial, maka ada baiknya jika menengok pendapat ’Abdulrahim. Dalam anggapannya, ’Abdulrahim memandang bahwa sebenarnya ilmu sosial adalah juga ilmu pasti (eksakta). Menurutnya, dikotomi ilmu menjadi ilmu sosial dan ilmu eksakta adalah tidak tepat. Secara lengkap pendapat ’Abdulrahim dapat dilacak dalam kutipan berikut:
"Biasanya para ahli ilmu sosial menganggap hukum-hukum yang berkenaan dengan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat tidak termasuk hukum yang pasti. Oleh karena itu mereka memisahkan ilmu sosial dari ilmu alam dan matematika (ilmu-ilmu eksakta). Mereka mengatakan ilmu sosial tidak pasti. Padahal sebenarnya hukum-hukum sosial itupun eksak, sebagaimana diterangkan dalam Al Quran itu. Na- mun variabelnya sangat banyak, sama banyaknya dengan jumlah manusia di dunia ini dikalikan dengan segala macam keinginan mereka, sehingga sangat sukar diperkirakan korelasi antara variabel yang satu dengan yang lain. Mereka yang mengatakan hukum-hukum sosial yang univer- sal itu tidak eksak, pada dasarnya karena kegagalan mereka menemukan korelasi antara variabel yang sangat banyak ini. Tetapi dengan maju- nya ilmu statistik sesudah mendapat bantuan komputer sekarang ini, da- pat dibuktikan betapa anggapan para pakar ilmu-ilmu sosial." (’Abdulrahim, 1997, hlm. 95)
Pencantuman kutipan di atas dalam bagian dari pembahasan ini tidak berkepentingan terhadap perdebatan dikotomi ilmu sosial dan eksakta. Titik tekan yang hendak diajukan di sini ialah bahwa unit-unit yang berinteraksi dalam sistem ekonomi dapat didekati dengan cara pandang yang sama ketika fisikawan mengamati sistem fisis pada skala mikroskopik (Lux, 2000). Johnson (Jawa Pos, 23/09/2002) dari laboratorium Clarendon menunjukkan ada keterkaitan yang sangat kuat antara kegiatan keuangan dengan perilaku dari zarah, atom, dan molekul.
Tsallis, seperti yang ditulis oleh Kebamoto (2002), juga mempunyai kesimpulan yang paralel dengan Johnson. Menurutnya, dengan statistik termodinamika, manusia dapat dimodelkan sama dengan atom dalam segala hal kecuali masalah intelegensi dan budaya. Dengan kata lain, andaikan masalah intelegensi dan budaya ini untuk sementara diabaikan, maka kelakuan manusia dapat dipandang seperti kelakuan atom. Ringkasnya, sistem ekonomi sama dengan sistem fisika.
Paradigma ini semakin menemukan kekuatannya ketika merujuk pada hakikat manusia dan benda-benda nirnyawa. Atom adalah unsur pembentuk yang sama dalam manusia, batu, gunung, air, matahari, hewan dan tumbuhan. Qayyim (2005) menyebutkan bahwa setiap makhluk bernyawa atau nirnyawa seluruhnya mempunyai roh. Pada aras ini, maka tidak ada lagi beda antara manusia atau atom. Penyebutan manusia bersamaan dengan matahari, tumbuhan dan hewan melata dalam Kitab Suci dapat dipahami dalam kerangka tersebut.
"Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?" (QS Al Hajj: 18)Beberapa ayat lain yang semakna tentang masalah ini antara lain dapat ditemui dalam Al Isra’: 44, Shaad: 18, dan An Nuur: 41.
Topik penelitian yang digarap oleh Amaral et al. (2003) memberi kejelasan terhadap masalah ini. Dalam kajiannya, Amaral et al. memusatkan pada 3 jejaring, yakni jejaring ekonomi dan teknologi, jejaring sosial dan terakhir adalah jejaring fisis dan biologis. Dalam jejaring pertama dimana diteliti jalur transmisi dan lalu lintas di bandara (penumpang dan pesawat) menunjukkan bahwa keduanya mematuhi hukum pangkat. Demikian pula dalam jejaring kedua dan ketiga yang juga mematahui hukum pangkat. Pada akhirnya, kesimpulan yang didapat Amaral et al. dari kajian itu adalah fenomena-fenomena tersebut dapat dikiaskan dengan teori fenomena kritis (critical phenomena). Kesimpulan yang sama juga didapat oleh Dragulescu dan Yakovenko (2004) yang meneliti kelakuan uang, pendapatan dan kekayaan masyarakat dengan mekanika statistik sebagai pisau telisiknya. Sedangkan Stanley et al. (2002) berhasil menggunakan paradigma transisi fase dan fenomena kritis untuk menerangkan kemajemukan pengaturan diri dalam ekonomi dan keuangan. Gagasan tentang pengaturan diri ini sebenarnya banyak ditemukan di sepanjang sejarah ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk mendeskripsikan proses pengaturan diri kehidupan sosial. ’Tangan gaib’ dalam teori ekonomi Smith dapat dikategorikan di sini. Contoh lainnya ialah ’check and balance’ dalam Undang-Undang Amerika Serikat dan hubungan timbal balik tesis dan antitesis dalam dialektika Hegel dan Mark (Capra, 2001, hlm. 97).
Interaksi yang begitu erat antara fisika dan ekonomi ini membuat De Liso dan Filatrella (2001) dan Stauffer (2000) menyatakan dengan tegas bahwa ekonofisika bukanlah ranah keilmuan yang baru. Merujuk pada dua pendapat ini, maka anggapan Kebamoto (2002) dan Mart (2001) bahwa ekonofisika merupakan gagasan fisika yang baru atau bidang penelitian baru dalam fisika dapat dinilai sebagai anggapan yang kurang tepat. Pada aras ini pula, kecurigaan Mubyarto (2002) terhadap ekonofisika sehingga mengimbau LIPI dan AIPI untuk "membahas ekonofisika secara serius" dapat dilihat sebagai pendapat yang tidak mempunyai pijakan ilmiah.
No comments:
Post a Comment